41

2.8K 239 14
                                    

Di saung yang berada tepat di halaman belakang rumah itu, kini Salwa tengah terduduk seorang diri dengan ditemani secangkir teh yang ia pegang di tangannya.

Malam yang seharusnya ia isi dengan rasa kebahagiaan itu kini terasa hampa dan terkesan biasa-biasa saja. Entah kenapa hatinya sekarang merasa sangat tidak enak dan sangat gelisah. Padahal biasanya ia begitu senang jika keluarga dirinya tengah berkumpul bersama dengan keluarga Navisya, apalagi saat ini ada beberapa sahabat Arka juga yang ikut bergabung, membuat suasana rumah menjadi ramai dan hangat.

Tapi entah kenapa rasanya hal itu tidak bisa membuat Salwa bahagia di malam ini. Perasaan cemas yang tidak karuan telah memenuhi hati dan pikirannya sejak sore tadi, tepat sehabis dirinya menelepon Arka dan Navisya untuk mengajak mereka datang ke rumah dan berkumpul bersama.

Jawaban yang di berikan dari anak dan menantunya itu berbeda satu sama lain. Arka bilang kalau dirinya bersedia datang. Tapi disisi lain, Navisya menjawab kalau ia dan Arka tidak bisa datang malam ini. Katanya ada sesuatu mendesak yang harus ia urus dengan Arka di suatu tempat.

Awalnya Salwa sempat mengerti tentang jawaban Navisya. Melihat sifat anaknya yang pelupa, jadi bisa di pastikan kalau Arka melupakan sebuah hal yang harus ia urus dan malah mengiyakan ajakan bundanya itu.

Namun semakin lama, dan waktu semakin larut, perasaan tidak enak serta firasat-firasat buruk tentang putranya itu terus-menerus muncul di kepala Salwa, membuat dirinya menjadi gelisah sedari tadi.

"Terkadang, perasaan buruk atau gak enak hati itu memang sering muncul tanpa sebab, Bun. Membuat kita yang merasakan jadi gelisah sendiri karena itu. Papah juga sering kok merasa begitu, dan Papah berusaha tenang ngehadapinnya. Papah tau kalau itu hanya perasaan yang muncul karena kekhawatiran berlebih kita terhadap sesuatu aja, dan itu sama sekali gak terjadi sesuai dengan apa yang kita gelisahkan."

Reksa merangkul sang istri dan mengusap bahunya, memberikan kenyamanan serta ketenangan untuk Salwa.

"Bunda gak usah khawatir. Arka dan Navisya gak akan kenapa-kenapa kok, yakin deh sama Papah."

"Tapi Pah..."

"Udah-udah, Papah gak mau denger Bunda ngomong tentang hal itu lagi. Papah maunya denger cerita Bunda tentang hal yang buat Bunda seneng sampe suka peluk-peluk Papah kalau di kamar." potong Reksa dengan senyum yang merekah. Salwa melirik, kemudian memukul pelan paha suaminya.

"Lagi gak ada yang bikin Bunda seneng, sekarang."

"Masa?" tanya Reksa, Salwa mengangguk.

"Yakin?" Salwa kembali mengangguk. Reksa melepaskan rangkulannya lalu bangkit dari duduknya.

"Berarti Papah gak nyenengin di mata Bunda?" tanya Reksa lagi, Salwa terdiam sejenak, kemudian mengangguk ragu.

Reksa menghela nafas, ia sedikit kecewa dengan jawaban istrinya.

"Yaudah kalau gitu." Reksa sedikit meregangkan tubuh serta tangannya, kemudian meloncat-loncat di tempat. Salwa yang melihat itu terheran, apa yang tengah suaminya lakukan?

"Papah ngapain sih loncat-locat kayak gitu?"

"Siap-siap."

"Siap-siap ngapain... Eh-eh? Pah?" mata Salwa melebar kala suaminya itu mengangkat dirinya dengan gaya Bridal style.

"Gendong Bunda keliling rumah, biar pikiran buruk Bunda ilang." sebuah senyuman manis terukir indah di bibir Reksa. Salwa yang mendapat perhatian seperti itu ingin tersenyum rasanya, perlakuan Reksa terhadapnya benar-benar dapat membuat perasaan bahagia Salwa membuncah begitu saja dari dalam diri, mengalahkan setiap pikiran buruk yang sedari tadi ia pikirkan. Namun saat ini, dengan sekuat tenaga ia harus menahan untuk tidak tersenyum. Ia sedang dalam posisi gelisah sekarang, jika ia membalas perhatian Reksa dengan senyuman, maka suaminya itu akan merasa percaya diri dan akan meledek dirinya yang lemah terhadap pesona Reksa. Salwa pun kini berontak dan memukul bahu suaminya.

ARKASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang