BAB ENAM

1.3K 119 0
                                    

Selamat membaca!

***

VANESSA MELIRIK NANIA, teman sebangkunya yang baru, terlalu 'berisik' saat makan. Jam istirahat kedua memang sering dia habiskan di kelas sambil menghabiskan bekal yang dibawa dari rumah. Namun, mendengar suara decapan Nania membuat nafsu makannya langsung hilang. Sejak kecil diajarkan untuk makan tidak bersuara membuat perempuan itu memegang teguh table manner di mana pun makan. Kembali menutup kotak bekal, Vanessa pun memilih untuk keluar kelas dan duduk di bawah pohon dekat lapangan basket.

"Enak banget makan sendirian."

Suara itu membuat Vanessa buru-buru mendekap kotak bekalnya. Dia menoleh dan mendapati seorang murid laki-laki mengintip ke dalam kotak bekalnya. Tidak terbiasa berteman dan berdekatan dengan orang asing membuat Vanessa tetap diam dan kembali melanjutkan makannya dengan cepat.

"Buru-buru banget, ntar keselek. Nggak bakal gue minta, kok."

Vanessa kembali melirik laki-laki itu, lalu menggeleng. Tangannya menyambar botol minum dan menenggaknya. "Saya nggak kenal kamu."

"Ya, elah, gitu banget lo." Laki-laki dengan nama pengenal Randy itu mengambil posisi duduk di sebelah Vanessa. "Lo kelas sepuluh, kan? Berarti gue senior lo."

Vanessa menutup kotak bekal yang hanya menyisakan sedikit nasi, lalu berdiri dengan sigap. "Permisi," ujarnya, tanpa pikir panjang langsung pergi.

Usai melaksanakan salat zuhur di masjid sekolah, Vanessa kembali ke kelas dan lagi-lagi berpapasan dengan Randy. Lelaki itu seperti sengaja mencegat jalannya.

"Lo kurang kerjaan banget, sih, gangguin anak kelas sepuluh."

Vanessa menoleh ke belakang. Ada Angelica dan Liliana di sana, menatap Randy yang kini tampak kesal karena merasa terganggu.

"Gue nggak ada urusan sama lo. Nggak gangguin lo juga," sewot Randy.

"Yang lo gangguin adik gue, itu masalahnya," lanjut Liliana.

Angelica hanya diam dan menatap Randy dengan kesal. Meski belum terbiasa dengan keberadaan Vanessa di dekatnya saat ramai begini, tetap saja dia tidak suka bila ada yang mengganggu saudaranya. Sebutlah ikatan batin yang terhubung.

"Gue baru tahu lo punya adik." Randy kembali membalas, lalu menatap Vanessa yang masih diam. "Dia Kakak lo?" tanyanya, meyakinkan.

Liliana adalah sahabat Angelica, saudaranya, berarti kakaknya juga, kan? pikir Vanessa. Dia pun mengangguk pelan.

Randy berdecak, lalu pergi dari hadapan Vanessa. Tidak mau mencari ribut dengan Liliana yang sudah terkenal di sekolah ini sebagai anak pengacara kondang.

Sepeninggal lelaki itu, Vanessa merasa sangat gugup. Ini kali pertama dia berhadapan di tengah keramaian sekolah dengan Angelica—meski bertiga dengan Liliana. Saat akan bersuara, Liliana lebih dulu berpamitan dan menyuruhnya berhati-hati. Vanessa menghela napas. Memperhatikan Angelica dan Liliana yang sudah berlalu dan menghilang di belokan menuju gedung kelas dua belas.

***

"Rey, pulang aja duluan. Aku mau ambil paper yang ketinggalan di apartemen."

Reynald mengacungkan ibu jari, bersiap meninggalkan Raymond sebelum teringat sesuatu. "Kayaknya kemarin lusa aku lihat kamu sama cewek, deh. Pacar, ya?" Meski pernah diledek teman-temannya ber-'aku-kamu', tetap saja mereka tidak bisa mengubahnya. Sudah terbiasa dan memang disuruh orang tua tetap bersapa sopan di mana pun berada.

Raymond merasakan detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. Meski begitu, untungnya dia selalu bisa mengendalikan emosi dan ekspresi. "Di mana? Teman sekelas kali. Habis bikin paper kelompok."

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang