BAB VIII

589 73 0
                                    

Hehe, konflik-konflik ringan aja dulu. :)

Kalau bisa sih, besok aku update lagi. :)

Jangan lupa tinggalin jejak, ya!

***

Sudah tiga hari Angelica tidak mendapat kabar dari Pramudya. Nomor ponsel lelaki itu tidak aktif. Semua pesan tidak terkirim. Baru kali ini terjadi setelah tujuh bulan lebih mereka berhubungan. Tentu saja membuat Angelica bertanya-tanya dan cemas. Terlebih dengan perkataan Raymond padanya mengenai kehidupan Pramudya yang misterius. Meski tidak dijelaskan secara spesifik, Angelica merasa ini berkaitan dengan keluarga kekasihnya yang broken itu.

Menjelang sore usai syuting film—yang baru dua minggu ini dilakoni—Angelica pun bertolak menuju apartemen Pramudya. Dia ingin memastikan setidaknya lelaki itu masih hidup dan hanya sedang kurang sehat di sana. Dia juga sudah rindu untuk melihat wajah sang kekasih. Bercerita keseharian di tempat syuting ataupun di kampus padanya. Begitu tiba di depan unit Pramudya, Angelica langsung menekan bel alih-alih menekan sendiri kode yang sudah diketahuinya.

Begitu daun pintu bergerak pelan, Angelica langsung menghela napas dengan lega. Hanya beberapa detik, sebelum kembali menahan napas mendapati seorang perempuan muda menatapnya dengan sorot takut. Ada beberapa lebam di sudut bibir dan pelipisnya. Membuat Angelica menggigil karena belum pernah bertemu langsung dengan korban kekerasan.

"Kamu ... Prisilia, ya?" tanya Angelica ragu, namun iras wajah perempuan muda di depannya sangat mirip dengan Pramudya.

Prisilia, adik perempuan Pramudya, mengangguk pelan. Dia membuka daun pintu semakin lebar dan mengizinkan Angelica masuk. "Mas Pram lagi tidur. Hm ... Mbak Angel?"

"Iya. Aku Angel," balasnya lembut. "Kamu udah makan? Aku bawain makanan, nih." Walau sebenarnya pertanyaan lain sudah bercokol di kepala, Angelica ragu untuk mengutarakannya.

"Mas Pram udah lama tidur, kok, kalau Mbak Angel mau bangunin." Prisilia mengedik ke kamar Pramudya yang pintunya tidak tertutup. "Biar aku yang bantu siapin makanannya."

Angelica ingin bertanya apa yang terjadi pada adik dari kekasihnya, namun takut membuat perempuan itu bersedih. Terlebih melihat tatapan takut yang terpancar dari mata sayunya. Dia pun mengangguk pelan dan berlalu ke kamar Pramudya.

Lelaki itu tidur telentang hanya mengenakan boxer. Menampilkan wajahnya yang tidak kalah mengenaskan dari Prisilia. Ada lebam di sudut bibir, rahang, dan pelipis. Angelica tidak berani menerka-nerka barangkali ada keributan di rumah utama Wilantara, membuat Pramudya terpancing emosi dan membawa adiknya ke sini.

"Hm...," sapa Pramudya serak. Tiba-tiba dibangunkan oleh Angelica—yang tidak disangka akan berada di sana—membuatnya sedikit terkejut. "Lo di sini?"

"Mas nggak ada kabar tiga hari ini. Aku khawatir."

Pramudya mengangguk pelan. Turun dari ranjang menuju lemari dan lekas mengenakan kaus oblong. Di belakangnya, Angelica terkesiap mendapati juga ada lebam di bahu lelaki itu.

"Mas ... apa yang terjadi?"

Pramudya yang hendak ke kamar mandi pun kembali berbalik, menatap Angelica yang sudah berlinang air mata. "Nggak ada apa-apa," katanya. "Lo tunggu di luar aja. Gue mau cuci muka dulu."

Prisilia sudah selesai memindahkan makanan ke piring saat Angelica kembali ke ruang makan. Adik Pramudya itu terlihat begitu telaten menyiapkannya. Dia mengusap kepala perempuan yang hanya setinggi dadanya itu dengan lembut. Walau baru pertama kali bertemu, rasanya Angelica sangat ingin melindungi Prisilia. Seperti perasaannya pada Vanessa, dia juga tidak ingin ada hal buruk terjadi pada adik kekasihnya ini.

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang