BAB SEMBILAN

1.1K 105 3
                                    

Terima kasih sudah mampir. 

***

PERBAN YANG MENUTUPI kedua mata Liliana dibuka seminggu kemudian. Perempuan itu masih menunggu aba-aba dokter untuk membuka kedua matanya yang sudah terlalu lelah dipejamkan. Di samping dokter bernama pengenal Mikail, kedua orang tua Liliana ikut menunggu dengan sabar. Sudah seminggu ini pula mereka menunda semua pekerjaan demi putri tunggal yang tengah membutuhkan perhatian penuh. Di sebelah kiri brankar, Reynald dan Angelica berdiri dengan penuh harap. Keduanya yang paling rajin selain orang tua Liliana untuk berkunjung dan menginap di sana.

"Dalam hitungan ketiga, matanya dibuka perlahan-lahan, ya, Dik Liliana."

Liliana mengangguk tidak sabar. Perban yang melapisi lilitan tadi ikut dibuka. Samar-samar dia sudah bisa merasakan cahaya kemerahan dari balik kelopak mata yang masih tertutup. Tepat pada hitungan ketiga, seperti yang diperintahkan, kedua kelopak mata Liliana bergetar pelan sebelum terbuka pelan-pelan. Ada rasa perih yang dia terima dan membuatnya kembali memicing sambil menekan pangkal hidung, lalu kembali membuka dengan perlahan.

"Kok, agak buram, ya, Dok?" tanya Liliana setelah mengerjap beberapa kali.

Anggara membingkai wajah putri sulungnya dengan sigap. Memperhatikan kedua mata Liliana dengan saksama seperti seorang dokter ahli. Masih menyisakan sedikit kemerahan di tepi-tepi bola matanya. Membuat perempuan muda itu kembali mengerjap beberapa kali hingga fokus matanya bisa seperti sedia kala.

"Sekarang masih buram, Sayang?" tanya Anggara.

Senyum lebar terbit di bibir Liliana. "Enggak, Pa. Udah nggak buram."

Dokter Mikail menahan senyum melihat reaksi Anggara yang normalnya orang tua melihat anak mereka terluka dan dalam masa pemulihan. "Biar saya periksa sebentar, Pak Anggara," katanya kemudian.

Anggara kembali mundur, membalas genggaman Mulya yang juga khawatir akan penglihatan putri mereka. Setelah beberapa kali diperiksa dan disenter, dokter mengatakan tidak ada masalah serius karena butiran pasir tempo lalu tidak merusak sampai ke retina. Beruntung cepat dibawa ke rumah sakit dan tidak diobati secara mandiri—asal-asalan—di rumah.

"Cuma nanti kalau sering merasa pusing karena cahaya terang, saya sarankan untuk memakai kacamata antiradiasi atau photocromic. Sampai kembali terbiasa," lanjut dokter Mikail, sebelum berpamitan kembali ke ruangannya.

Liliana tidak bisa membendung rasa bahagianya karena bisa kembali melihat kedua orang tua serta kekasih dan sahabatnya. Dia memeluk kedua orang tuanya yang sudah rela meninggalkan pekerjaan demi menungguinya kembali seperti semula. Tidak lupa Reynald yang rutin membacakan cerita favoritnya sebelum tidur. Juga Angelica yang tiap sebentar meminta maaf. Rasanya seperti dia baru saja terlahir kembali.

***

Angelica mengerut heran saat Raymond menatapnya dengan serius. Saat ini mereka tengah makan siang di restoran terdekat dari rumah sakit. Satu jam lalu, sulung Pratama ini menelepon dan mengajaknya makan siang berdua saja. Ada hal penting yang ingin dibicarakan, katanya. Rasa waspada menyelimuti Angelica—takut jika dirinya akan dimarahi pasal berburuk sangka pada Liliana tempo lalu. Namun, hingga makan siang sudah dipesan dan mereka masih saling diam, dia pun memberanikan diri untuk memulai.

"Tapi, kamu jangan marah dulu, ya," pinta Raymond, saat adiknya itu bertanya ada hal penting apa yang ingin dibicarakan.

"Iya, Angel janji nggak bakalan marah."

"Sebelumnya, Mas mau nanya-nanya dulu, deh, sambil nunggu makanan datang." Raymond sengaja mengulur perasaan was-was Angelica. "Kamu sama Vanessa ... sekarang gimana?"

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang