BAB V

696 79 2
                                    

Aku kasih bagian manis-manis, nih. :)

***

LIMA BULAN BERLALU pasca keguguran yang dialami Vanessa. Semuanya kembali berjalan dengan baik. Dirinya tidak lagi memancing obrolan sensitif yang hanya akan menjadi bumerang untuk keduanya. Mengisi waktu luang di sela menemani Raymond bekerja, Vanessa pun bergabung dengan komunitas perantau Indonesia yang berlokasi tidak jauh dari kantor. Liliana yang lebih dulu bergabung dan mengajak dirinya ikut serta. Iparnya yang sudah hamil tujuh bulan itu tampaknya tidak ingin melihat dirinya terlalu sering sendirian.

Siang ini cuaca Singapura lumayan mendung. Awan kelabu mengiringi sepanjang jalan. Vanessa berdiri di tepi jendela, memandangi hamparan kota yang tidak begitu ramai. Barangkali takut hujan segera turun, masyarakat pun memilih untuk berdiam di rumah. Menghela napas, Vanessa berbalik dan ikut membantu Raymond yang sedang mengemasi oleh-oleh untuk dibawa pulang.

Kedua pasangan Pratama itu memutuskan untuk mudik seminggu sebelum lebaran idul fitri. Tepatnya penerbangan dua jam lagi. Tidak banyak yang dikemas, hanya oleh-oleh berupa mainan untuk para adik juga sepupu. Setelahnya mereka ke unit Reynald untuk memastikan bahwa pasangan itu sudah berkemas.

"Udah, Ray, udah. Dari semalam udah beres. Kalau sampai nggak beres, bisa-bisa Nyonya Besar ngamuk."

Liliana menyipit tajam. Dia paling tidak suka disebut 'nyonya besar' dan sejenisnya. Meski dalam bentuk candaan, baginya itu seperti sindiran atau malah gelar bernada negatif. Entahlah, hormon kehamilan membuat perempuan itu menjadi sangat sensitif.

"Biasa aja ngomongnya. Kalau nggak suka bilang!"

Reynald menggeleng cepat. "Apa, sih, Yang. Mas cuma bercanda, kok."

"Alasan! Bilang aja udah ketemu yang baru. Mana pakai chat-an segala. Cih!" Liliana membuang muka, mengusap perutnya yang sudah besar. "Mentang-mentang aku lagi buncit gini, malah sibuk sama cewek lain. Aku diam bukan karena nggak tahu. Cuma malas aja nyari ribut."

Mata Reynald memelotot. Dia memeriksa ponsel dan mencari tahu obrolan mana yang membuat Liliana begitu marah. Hanya ada beberapa obrolan dengan teman kampus dan itu hanya seputar tugas. Selebihnya obrolan dengan teman-teman di Indonesia serta keluarga. Raymond dan Vanessa dibuat geleng-geleng oleh keduanya. Kemudian kembali ke unit mereka setelah memberi tahu berangkat ke bandara satu jam lagi.

"Ya, Allah, Yang, nggak ada chat-an yang aneh. Coba kamu lihat, deh!" Reynald mengangsurkan ponselnya pada Liliana. "Tunjuk, Yang! Tunjuk yang mana bikin kamu kesal."

Liliana melirik sinis. Satu nama dengan foto profil perempuan berambut pirang membuat dengkusan kembali terdengar. "Cassie siapa? Mana chat-nya pakai emotikon love segala."

"Ya, ampun." Reynald mengusap dada saat tanyanya terjawab. "Cassie ini adiknya Dom, lho. Dia seusia sama Vanessa. Yang pernah diceritain Dom waktu itu, lho, adiknya yang milih high school di Inggris, kampung orang tua mereka."

"Harus banget pakai emotikon love-love segala?!" Liliana masih tidak mau kalah. "Mas nggak pernah lihatin ke aku fotonya, makanya aku nggak tahu. Belum lagi dia tampangnya kayak lebih tua dari aku dan manggilnya cuma Rey. Ish!"

"Eh ... itu ...."

Reynald ikutan bingung. Dari dulu memang teman-temannya di Singapura tidak pernah memanggil yang lebih tua dengan sapaan lain sebelum nama. Terlebih untuk teman-temannya yang dari luar Singapura di sekolah internasional. Mereka hanya memanggil nama. Hanya ada perbedaan 'miss' dan 'mister' saja untuk guru dan petugas lain di sekolah. Atau, sapaan 'uncle' dan 'aunty' pada orang yang lebih tua.

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang