BAB DELAPAN BELAS

970 100 4
                                    

Terima kasih sudah mampir. 

***

REYNALD MERASA dia dipaksa untuk mengalah. Dia dipaksa berlapang hati membiarkan Tama memilih untuk melamarkan Vanessa terlebih dahulu untuk Raymond. Perihal rencana tersebut, dia juga sudah memberi tahukannya pada Liliana. Tentunya dengan penjelasan lengkap yang tidak ingin membuat kekasih hatinya itu merasa disisihkan. Maka seminggu usai perang dingin di keluarga Pratama, Raymond pun merasa sudah lebih baik dan bisa diajak berdiskusi dengan Tama perihal rencana lamaran dadakan tersebut.

"Sudah siap, Mas?"

Raymond menghela napas, menatap sekali lagi pantulan pada cermin full body di depannya, lalu mengangguk pelan. Dia menatap Angelica—yang masih terlihat canggung—di belakangnya lewat cermin. Kemeja putih dengan jas hitam semi formal sudah melekat pas di tubuh atletisnya. Dipadukan dengan celana yang senada. Sebelumnya dia sudah menelepon Vanessa dan mengabarkan akan berkunjung usai makan malam ke kediaman Hadiwijaya. Hanya itu. Tanpa tambahan membawa keluarga.

"Jangan tegang, Mas. Kalau Mas memang sudah berniat serius, harusnya nggak perlu cemas." Gracia yang duduk di samping Tama pun memberi sedikit kekuatan pada sulung Pratama tersebut.

Reynald melirik Raymond yang masih diam dan raut tetap tegang. Meski sudah berlapang hati, tetap saja ada perasaan sedikit cemburu melanda dirinya. Terlebih perihal pernikahan yang sudah dia rencanakan dengan matang terlebih dahulu sebelum Raymond. Sementara di kursi paling belakang, Angelica sama bungkamnya. Hanya Raufa—yang tidak tahu menahu—tetap mengoceh dengan tayangan di monitor belakang jok yang ditempati Reynald.

Di rumahnya, Vanessa sudah ketar ketir menunggu kedatangan sang kekasih. Tadi dia sudah mengatakan pada orang tuanya bahwa Raymond akan datang dan kemungkinan mereka akan jalan untuk bermalam minggu. Sudah seminggu sejak Raymond mengatakan ada kesibukan di kampus dan mereka tidak bisa bertemu. Dan sekarang, dia sudah sangat merindukan lelaki itu sampai tidak sabar ingin memeluknya.

Deru mesin berhenti di halaman depan membawa Vanessa setengah berlari membuka pintu. Senyum cerahnya langsung pudar dan berganti raut bingung begitu melihat tidak hanya Raymond yang turun dari mobil tipe keluarga itu. Terlebih dengan pakaian semi formal yang dikenakan mereka. Tama dan Gracia yang mendekat lebih dulu. Menyapa Vanessa yang masih berdiri dengan raut bingung.

"Assalamualaikum."

Vanessa mengerjap pelan sebelum menjawab, "Waalaikumsalam." Dia menatap Raymond yang juga menatap lurus padanya, lalu kembali pada Tama. "Ehm, ma-masuk, Om, Tante, semuanya."

"Mas Ray disuruh masuk dulu, Kak. Jangan langsung keluar, ya!" Suara Veronika terdengar disusul langkah mendekat. "Nanti—" Perkataan itu terputus, ikut terkejut melihat keberadaan keluarga kekasih putrinya. Meski begitu Veronika lekas mengendalikan diri dan mengulas senyum ramah. "Masuk, Pak Tama, Mbak Gracia, anak-anak juga!"

Vanessa masih belum bisa mengendalikan diri saat Veronika sudah menarik lengannya untuk mengikuti keluarga Pratama yang sudah diarahkan lebih dulu menuju ruang tamu. Dia bahkan hanya bisa menggeleng saat mendengar bisikan Veronika perihal kedatangan keluarga kekasihnya yang tiba-tiba itu. Sedangkan Mario yang memang sedang menonton di ruang keluarga—persis di samping ruang tamu—langsung menyadari kehadiran keluarga Pratama dan langsung mendekat. Diikuti Jovian yang mengekor dari belakangnya.

"Wah, kejutan sekali, Pak Tama!" sapa Mario yang segera menyami Tama dan hanya mengangguk pada Gracia, mantan istrinya. "Padahal tadi Vanessa bilang cuma Raymond yang bakal datang. Saya pikir mereka mau malam mingguan. Duduk, silakan duduk!"

Sementara itu, Veronika dan Vanessa langsung ke dapur meracik minuman untuk keluarga Pratama. Dengan tangan bergetar, Vanessa memindahkan gelas-gelas ke nampan dan mengisinya dengan air. Tiba-tiba ingatannya melayang pada kunjungan Angelica persis minggu lalu. Saudaranya itu menanyakan perihal rencana masa depan dan pernikahan dengan Raymond. Bulu kuduknya seketika berdiri dan menggigil jika memang kedatangan mereka adalah untuk membicarakan pernikahan. Karena dia masih belum tahu akan menjawab apa jika ditanya. Seperti yang dikatakannya pada Angelica, dia sangat mencintai Raymond dan takut melihat laki-laki itu dengan perempuan lain. Namun, dia juga lebih takut jika suatu saat nanti Raymond mengecewakannya dengan kebodohan karena terburu-buru menentukan pilihan.

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang