BAB VI

758 86 3
                                    

It's Friday nite!

Selamat membaca!

***

Kehamilan Liliana sudah mendekati hari-hari menjelang kelahiran. Sebulan usai lebaran di Jakarta, mereka kembali ke Singapura. Rencana untuk kembali ke Jakarta menjelang hari kelahiran pun batal karena kondisi perempuan itu tidak memungkinkan. Kesehatannya menurun dan makin sering merasa lelah. Reynald sudah mengajukan surat cuti ke kampus—entah untuk berapa lama karena belum ada diskusi pasti karena sebelumnya Liliana menolak untuk cuti. Hal ini pun sempat menjadi perdebatan alot yang membuat Liliana kembali terpancing emosi hingga masuk rumah sakit—karena tekanan darah yang tinggi sangat berpengaruh pada proses kelahiran nanti.

Memasuki hari kelima di rumah sakit, Dominic menyerahkan berkas prakelahiran kepada dokter anestesi karena kondisi kehamilan Liliana dengan tekanan darah yang tinggi. Seperti yang pernah dikatakan Raymond, Dominic masih baru mengambil spesialis dan butuh belajar tambahan untuk mendapatkan gelar tersebut. Meski begitu, Dominic akan menjadi pendamping beserta tim medis dan paramedis lainnya saat proses kelahiran nanti. Terlebih lagi untuk urusan nyawa, meski sudah mengetahui banyak teori dan beberapa kali praktik menjadi pendamping, tetap saja lelaki itu belum terlalu mahir jika langsung menjadi dokter utama yang melakukan proses tersebut. Dia belum mendapatkan sertifikat dan surat tugasnya.

Keluarga Dewo dan Pratama sudah berdatangan sejak semalam. Tepatnya setelah mendapat telepon dari Reynald bahwa Liliana sudah mulai mengeluhkan mulas. Perhitungannya tidak sesuai karena dokter hanya bisa memperkirakan. Sudah enam jam berlalu dan pembukaan tidak bergerak dari delapan. Liliana sudah sangat pucat dan tekanan darahnya makin tinggi. Hingga jalan terakhir yang ditakuti pun harus dipilih.

Ruang operasi sudah disterilkan. Reynald masuk beserta tim medis dan paramedis lainnya. Dia berdiri di samping kepala Liliana yang lemas dan tidak sanggup membuka suara. Berbagai doa dipanjatkannya untuk keselamatan sang istri dan calon anak mereka yang belum diketahui jenis kelaminnya. Mereka sepakat untuk tidak mengetahuinya sebelum kelahiran.

Sementara di luar ruang operasi, hanya ada Gracia dan Mulya karena tidak diizinkan banyak pengunjung untuk berada di sana. Tama dan Anggara menunggu di depan kamar inap VIP 1 beserta Raufa. Sementara yang lainnya akan datang bergantian sesuai aturan besuk.

"Operasinya lancar?" tanya Tama begitu Gracia dan Mulya sudah kembali ke kamar inap. Ternyata sudah hampir satu jam sejak Liliana dibawa ke ruang operasi.

"Alhamdulillah lancar, Mas. Cucu kita laki-laki. Sehat dan lengkap."

Tama mengucap rasa syukur. Sejujurnya dia mempunyai rasa trauma pada operasi caesar. Dia kehilangan Buana hanya berselang satu jam usai operasi. Mantan istrinya baru dipindahkan dan beristirahat sebentar setelah menyusui si kembar, lalu dokter mengatakan bahwa pendarahan hebat terjadi dan Buana tidak bisa diselamatkan.

"Nanti cucu kita bakal jadi idola di sekolah, Pi. Lahir di luar negeri, keluarga sultan, tampan; kriteria favorit remaja." Mulya tersedu dalam pelukan Anggara. "Putri kita sudah punya anak, Pi. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang malah sudah merasakan proses melahirkan."

Anggara mendengkus. Tak urung ada senyum geli mendengar penuturan istrinya. "Itu pun kalau cucu kita nanti sekolahnya di Indonesia, Mi. Cuma warga plus enam dua yang begitu."

***

Liliana terkena baby blues. Perempuan itu tidak mau berdekatan dengan bayi mungil yang dilahirkannya beberapa jam lalu. Bahkan untuk ASI pertama belum dia berikan dan beruntungnya rumah sakit swasta nan mewah itu selalu menyediakan stok ASI dari berbagai pendonor—yang tentunya sudah diperiksa terlebih dahulu.

Reynald hampir saja marah besar jika tidak ditenangkan oleh Mulya. "Baby blues itu hal yang wajar. Kamu nggak boleh memarahi istrimu. Sebaliknya, kamu harus memberikan dukungan dan doa. Ini tidak akan lama. Mami yakin itu."

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang