BAB III

699 78 2
                                    

Curhat dulu sebelum masuk ke cerita....

Akhirnya malam Minggu ini aku bisa menghirup udara di luar rumah. Meski cuma di beranda, seenggaknya benar-benar keluar pasca isoman. Berasa baru keluar penjara hehe...

Walaupun nggak sampai kena covid setelah dua kali tes (sebelum naik pesawat tempo lalu sama dua hari lalu), yang namanya habis bepergian antar pulau tetap harus sadar diri untuk menjaga jarak dulu. Soalnya kita nggak tau apa yang disentuh atau tersentuh di perjalanan. Sesteril apa pun keliatannya pesawat dan angkutan lain, yang namanya virus itu kan kecil banget, ya. So, mari sama-sama menjaga kesehatan. :)

Sekian, senang banget bisa beraktivitas seperti semula. Semoga kalian juga selalu diberkahi kesehatan dan rezeki umur panjang. Aamiin.

***

Veronika terbang ke Singapura besoknya setelah mendapat kabar dari Vanessa. Mario yang kebetulan sedang banyak kerjaan terpaksa hanya menitipkan salam saja. Bersamaan dengan itu, Angelica pun ikut serta setelah berhasil membujuk Gracia dan Tama memberikan izin mereka. Tepat pukul sepuluh waktu setempat, keduanya tiba di apartemen. Angelica lebih dulu ke unitnya yang berada tepat di sebelah unit Reynald. Bisa dikatakan lima unit di lantai tersebut sudah dibeli oleh Tama untuk masing-masing anaknya dan juga satu unit untuk keluarga berkumpul.

".... Dan Vanessa tetap ingin mempertahankan kandungan itu." Raymond menutup penjelasannya mengenai kondisi Vanessa. Hari ini dia tidak ke kampus pun kantor demi menyambut mertua dan adiknya. Semua pekerjaan ditangani oleh Reynald.

Veronika mengurut dada. Merasa sedih karena terus saja putrinya yang malang itu ditimpa banyak cobaan sejak kecil. "Morning sickness gimana? Parah?"

"Belum ada tanda-tanda morning sickness, Ma. Tadi pagi juga masih kayak biasa. Cuma ... takutnya Vanessa pura-pura aja. Dia nggak mau kasih tahu apa benar nggak ada mual dan semacamnya. Dia nggak mau aku kembali mengungkit masalah kesehatannya."

"Tapi, Vanes tetap mau makan, kan? Dia—" Perkataan Veronika terpotong begitu mendengar suara Vanessa memanggil nama Raymond. Dia bergegas mengikuti Raymond hingga depan pintu kamar.

".... Masih ngantuk?"

Vanessa menggeleng di dalam dekapan Raymond. Masih belum menyadari keberadaan Veronika. "Vanes pikir Mas ke kantor," ujarnya pelan.

"Nggak mungkinlah Mas ninggalin kamu sendirian di sini. Oh, iya, Mama udah datang, lho. Angel masih di unitnya, mandi dulu mungkin."

Vanessa langsung menarik diri dan melirik ke pintu. Baru saja akan turun dari ranjang, Raymond sudah menahannya dan menggeleng tegas. Benar-benar diperlakukan seperti seorang pesakitan.

"Biar Mama aja yang ke sini, ya," bujuk Raymond.

Veronika mengulas senyum dan mendekat. Langsung memeluk putrinya dan mengecupi rambutnya. "Kakak benar-benar udah dewasa, ya. Rasanya baru kemarin Mama cebokin, sekarang udah mau cebokin anak sendiri."

"Ish, Mama...," rajuk Vanessa, malu mendengar 'bahasa' lelucon Veronika.

Perempuan yang baru akan masuk lima puluh tahun itu mengerjap cepat supaya air matanya tidak turun. Dia harus mencairkan suasana supaya putrinya tidak melulu diingatkan bahwa keadaannya tidak baik-baik saja dengan kandungan yang lemah itu.

"Mama udah lama datangnya?"

"Belum setengah jam mungkin. Kakak nggak bermaksud mau ngusir Mama, kan?" candanya lagi.

"Ish, Mama. Enggaklah. Mama udah makan?" Vanessa masih enggan melepas dekapan ibunya. "Vian sama Papa, kok, nggak ikut, Ma?"

"Mama udah makan di pesawat tadi. Papa lagi ada kerjaan, Kak, kalau Vian lagi musim ulangan harian. Mereka titip salam buat Kakak."

THE ORDINARY LOVE (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang