7. Perasaaan 🌿

546 100 4
                                    

“Ada yang nomor 13?” tanya Kasih sedari bangkit dari duduknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Ada yang nomor 13?” tanya Kasih sedari bangkit dari duduknya. Pandangannya mengedar, mencari orang yang mempunyai nomor sama dengannya. Semuanya sudah memiliki pasangan kelompok masing-masing, hanya dirinya saja yang belum. Dia ingin bertanya pada Bu Erni—guru Prakarya— tapi tiba-tiba seseorang mengangkat tangannya.

“Aku nomor 13,” sahut seorang cowok, duduk di barisan ke empat—sejajar dengannya. Kasih menatap cowok itu datar, sedikit merutuk pada dirinya sendiri. Kenapa harus cowok itu lagi, pikirnya.

Cowok itu berjalan ke arahnya sambil menunjukkan selembar kertas bertuliskan angka tiga belas. Para murid memandang cowok itu kebingungan. Seperti ada hal langka yang baru saja cowok itu lakukan. Seberapakah penting dia di kelas ini? Sampai-sampai pusat perhatian teralih padanya.

“Tiga belas, kamu tiga belas?” tanya cowok itu dibalas anggukan lemah Kasih. Jika orang memandang Kasih sekarang, mungkin akan beranggapan bahwa Kasih sudah terpesona dengan cowok itu. Nyatanya, pesona ketampanan itu tidak bisa meluluhkan hati batu Kasih. Kekerasan hati Kasih hanya bisa luluh oleh beberapa hal. Kasih mencintai dirinya sendiri dan juga hujan.
 
“Jadi, kita satu tim?” Lagi, Kasih mengangguk. “Boleh minta nomor?”

Huh?!” Seseorang kaget mendengar permintaan cowok itu. Tak hanya satu orang, bahkan hampir murid di kelas ini menunjukkan wajah terkejutnya.

Kasih berdecak, lihatlah cowok itu masih mendapatkan pusat perhatian. Mungkin cowok itu populer di sekolah ini, anak pejabat dan petinggi atau anak pemilik sekolah seperti di novel-novel yang dia baca. Jika kehidupan ini berjalan seperti alur dalam novel, maka Kasih bukan pemeran utama.

Orang-orang di sini kelihatan lebay. Sekali pun dalam novel, figuran tidak selebay itu. Kasih tidak mengerti, sehebat apa cowok itu di sekolah ini. Lagi pula cowok itu hanya meminta nomornya untuk membahas tentang tugas, bukan mengajaknya berkencan.

“Audelia Kasih?”

“Ya.” Kasih mengambil secarik kertas lalu menuliskan beberapa digit nomor di sana. Setelah selesai, Kasih memberikan kertasnya pada cowok itu.

 “Oke thanks.” Cowok itu pergi ke tempatnya semula.

***

Mobil bus berhenti, kaki Kasih hendak melangkah naik ke dalam bus tetapi seseorang menahannya. Marka, cowok itu lagi-lagi ada di sekitarnya. “Aku dulu,” kata cowok itu menyingkirkan Kasih dari jalannya.

Kasih menahan kesal dengan wajah datar. Tidak ada gunanya mengomel pada cowok itu. Dia masuk kembali ke dalam bus, mengikuti Marka. Ada tiga kursi kosong, dan Marka sudah duduk dengan nyaman di sana. Saat Kasih ingin menempati kursi di belakang Marka, Marka lebih dulu menarik tangannya agar dia duduk di sebelahnya.

“Heh?!” pekik Kasih tidak terima, cowok asing menyentuhnya. Dia menepis tangan Marka kasar. Emosinya seketika membara, apa pun itu menurutnya sudah tidak sopan.

Rain For KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang