“Papa kecewa sama kamu, Marka! Sebenernya kamu itu maunya apa sih!” Murka sang ayah. Disaat kedua keluarga berkumpul untuk membicarakan soal pertunangan, Marka malah tidak pulang. Anak itu sendiri yang menginginkan pertunangan ini, tapi sekarang dia juga yang menghentikannya.
Marka mendongkak, hatinya bertanya-tanya. Dalam persoalan ini, siapakah yang bersalah? Bagaimana bisa ayahnya ingin dirinya bertunangan saat ingatannya belum kembali sepenuhnya.
“Marka belum ingat sepenuhnya, Pah. Lebih baik ditunda dulu sampai Marka benar-benar ingat. Lagi pula kita masih sekolah, untuk apa terburu-buru?”
Mawar melirik ke arah suaminya. “Tapi kamu loh yang maksa-maksa kami.”
Masa bodo dengan pertunangan. Di hatinya tidak ada Lila, melainkan Kasih. Ingin sekali mengingat Lila. Foto-foto saja tidak cukup membuat ingatannya kembali pulih. Bahkan hati dan otaknya pun seperti menahan untuk mengingat kembali.
“Sekarang Marka suka seseorang. Marka mohon jangan paksa-paksa Marka lagi.”
“Siapa yang paksa-paksa kamu, Marka Devananta?” tanya Wira geram. Saking geramnya ingin mencabik-cabik wajah tampan putranya. “Kamu ngomong kayak gini seolah kamu yang paling tersakiti, seolah kami yang memang paksa-paksa kamu buat tunangan sama Lila.”
Lihatlah sekarang, pria itu mengamuk. Siapa yang salah, ingatannya hilang bukan atas kemauannya tapi ini sudah takdir. Marka menatap Wira sebentar, lalu beralih menatap Mawar.
“Yaudah, kalau gitu selesai. Marka mau temenan aja sama Lila.”
Wira memijat-mijat keningnya, pusing dengan masalah putra yang cukup rumit. Lebih rumit dari masalah kantor. “Kamu mau jadi penjahat? Ngejar-ngejar Lila, dan setelah Lila suka kamu, kamu tinggalin gitu aja? Siapa? Siapa gadis yang sekarang kamu sukai?”
“Audelia Kasih, kalau Papa sama Mama mau jodohin aku sama dia. Hm ... Marka gak masalah,” canda Marka, setelah itu ngacir naik ke atas tangga sambil tertawa terbahak-bahak. Sementara Mawar dan Wira bertatapan penuh tanya.
“Audelia Kasih?”
***
Kasih menggigit bibir bawahnya pelan, menatap nama seseorang tertera di dalam handphone-nya. Sudah kali ketiga cowok itu menghubunginya dan Kasih hanya menatapnya dalam diam. Jantungnya berdegup kencang, dengan sangat kencang. Jantungnya seperti berpesta, menari-nari di dalam sana.
Terlintas ingatan tadi siang. Seorang gadis tiba-tiba memeluk Marka, mengatakan bahwa dia kekasihnya Marka. Saat ini Marka sedang amnesia, bisa-bisanya dirinya menyukai cowok yang sudah memiliki kekasih?
Ayo Kasih, tetap positif thinking!
Marka menelepon hanya untuk menanyakan tugas, bukan berkencan!
Ayo Kasih, angkat!
Kata-kata itu bergelung di kepalanya. Ya, benar, dirinya dan Marka hanya sebatas partner kerja kelompok. Tidak ada yang lain. Marka sudah memiliki pacar dan dirinya tidak boleh berdekatan dengan Marka di luar batasan.
Konyol, mencintai seseorang hanya karena memiliki hobi yang sama.
Bodohnya Kasih.
“Halo?” Akhirnya keberanian dalam diri Kasih kembali muncul.
“Kerkom mau?”
“Udah malem, gak liat langit?”
“Gak cocok buat kerkom ya?”
“Hm.”
“Gimana kalau kencan?”
Cowok gila! Bajingan! Mati aja kamu!
Berkali-kali Kasih mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Marka berkata seperti itu. Apa katanya? Kencan? Sedangkan dia sudah memiliki pacar.
“Mata kamu kencan?”
“Ya, mata aku sepasang. Jadi sering ketemu walau jauhan. Itu masih dibilang kencan kan?”
“Bodoh!”
“Ayolah kita kencan, sesekali. Di sini sekitar kost-an loh, ada angkringan. Enak lagi makanannya.”
“Kamu itu b*go apa tol*l sih. Punya pacar ngajakin kencan? Playboy ya?” tanya Kasih emosi. Siapa yang tidak emosi dihadapkan cowok seperti Marka.
Di seberang sana, Marka tertawa. “Lucu ya buat kamu marah. Aku gak pacaran sama Lila, dia emang baik tapi aku gak suka.”
“Kamu amnesia, jadi kamu gak inget apa pun. Brengsek ya kamu, nyakitin cewek!”
“Hahaha aku emang brengsek, Kas. Mau aku tunjukin sesuatu gak?”
“Gak, udah! Aku sibuk!”
“Et, tunggu! Aku udah ada di depan kost-an kamu nih. Mau aku masuk? Atau aku yang keluar?”
“Gila ya?”
“Cepet, aku itungin. 1 ... 2 ...—“
“GILA!” maki Kasih berlarian keluar dari kamar kost. Dari atas sini, Kasih bisa melihat seseorang ada di depan gerbang.
Marka memang gila!
“Gimana? Ada ‘kan? Cepet keluar atau aku manjat? Ketauan, dan kamu bakal diusir dari sini.”
“Fine! Orang gak waras.”
***
Tidak ada perasaan bersalah sedikit pun di wajah Marka. Malahan dia bersikap seperti biasa saja. Hidup tanpa beban. Kasih tidak bisa menyimpulkan apa pun sekarang. Menganggap Marka seorang cowok paling jahat pun percuma, hatinya tidak akan menerima.
Perlahan Kasih melirik ke arah Marka. Cowok itu tampak keren memakai hoodie dan topi hitam. Untung saja kulitnya putih, jika saja gelap maka Marka tak akan kelihatan di kegelapan.
Saat Kasih menatap, Marka ikut menatap. Kedua alis Marka naik turun menggoda Kasih. Sadar sudah kepergok Marka, Kasih langsung memalingkan wajahnya.
“Kenapa, Kas? Ganteng 'kan aku?”
Kasih diam, tak menjawab.
“Kalau cewek sewot biasanya bilang, ‘yaiyalah ganteng, kan cowok’ kok kamu gak bilang gitu si?” tanya Marka sambil menirukan suara wanita berbicara.
Lagi, Kasih hanya diam, memandang lurus ke depan. Entah ke mana mereka akan pergi. Sudah sepuluh menit mereka terus berjalan seperti ini. Kasih berdecak, bagaimana jika Marka berbuat macam-macam? Mana dia tidak memiliki kemampuan bela diri apa pun.
“Kita mau ke mana?” tanya Kasih ragu.
“Kenapa? Kamu gak percaya sama aku? Kamu pikir aku cowok mesum ya?”
Tertebak!
“Kalau iya kenapa?” Kasih balik bertanya, dengan tatapan santai. Beda sekali dengan hatinya yang sedari tadi berdegup kencang.
“Gila ya kamu. Aku cuma ngajak kamu ke angkringan, bukan ke tempat sepi!” balas Marka sambil mendengkus kesal.
“Mana angkringannya?”
“Sebentar lagi sampe.”
Belum lama setelah keheningan mendera mereka berdua, suara riuh ramai-ramai terdengar di satu tempat seperti warung. Atapnya terbuat dari daun kelapa kering, serta dinding bangunan yang terbuat dari anyaman bambu dan kayu. Tempatnya kecil, tapi makanan tersebar melimpah di sini. Para pengunjung dipersilakan memilih makanannya sendiri. Dengan sekali tatapan, Kasih sudah terpesona. Aroma dari makanan-makanan ini, sukses membuat perutnya keroncongan.
Mata Kasih berbinar, gadis itu menatap para pembeli yang sedang makan beramai-ramai. Ada yang duduk beralas karpet, ada pula yang duduk di kursi kayu. Seumur hidupnya, Kasih baru melihat semua ini.
“Ayok pesen.”
Ada dua orang pria dan wanita paruh baya yang melayani pembeli, sepertinya mereka sepasang suami istri. Kasih diam saja, masih bingung cara memesan dan memilih makanannya.
“Asli orang sini, Nok?” tanya pria penjual itu menatap Marka.
Marka mengangguk. “Iya, Pak. Kalau teman di sebelah saya bukan asli orang sini.”
Pria paruh baya itu mengangguk. “Ora wong kene yo?”
(*Orang asing ya)
“Boten pak, niku asli Indonesia, cuman keturunan Londo”
(*Bukan, Pak. Dia asli Indonesia, tapi keturunan luar)
“Oalah ngono to, ayu mn Yo, kui yang mu?” (*Oh begitu toh. Cantik banget ya, itu pacar kamu?) Kini wanita paruh baya menyahut. Bahasanya sangat kental membuat Kasih mengernyitkan dahinya, tidak mengerti dengan apa yang diperbincangkan oleh Marka dan penjual itu. Bahasa ini sangat asing di telinganya.
Marka tertawa, cowok itu melirik Kasih sekilas. “Enggeh, niku yange Kulo.” (*Iya. Dia pacar saya)
Kenapa Marka tertawa sambil melirik ke arah kasih? Apa jangan Marka sengaja membicarakannya menggunakan bahasa daerah agar dirinya tidak tahu? Kurang ajar.
“Maaf sebelumnya. Saya tidak mengerti kalian berbicara apa, jadi ... boleh bicara menggunakan bahasa prioritas saja?” pinta Kasih kikuk. Mereka seketika terdiam, tapi beberapa detik kemudian mereka tertawa.
“Seharusnya kami yang minta maaf. Kami tidak membicarakan macam-macam kok, cuma tadi dia bilang kamu itu pacarnya,” jelas wanita itu. Dia berbicara bahasa Indonesia, tapi logatnya masih terdengar jelas.
Benar ternyata!
Kasih melirik Marka kelas, sementara cowok itu cekikikan. “Gila,” umpat Kasih pelan.TBC
Terima kasih Vias, karena sudah mau membantuku. Jika ada kesalahan kata dan bahasa, mohon diperbaiki. Sampai jumpa Minggu depan, jangan lupa jaga kesehatan karena covid-19 di Indonesia semakin meningkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain For Kasih
Teen FictionIni tentang Kasih dan hujannya. Diasingkan kemudian ditarik kembali, seperti sampah yang didaur ulang lalu dibeli kembali. Ini tentang Kasih, yang tidak sengaja membunuh sahabatnya sendiri. Masa lalu kelam membuat Kasih tidak pantas hidup bersama m...