13. Masiber🌿

406 66 2
                                    






Kasih tidak bisa memilih makanan. Saking banyaknya, Kasih bingung. Semuanya tampak menggugah selera, bisa-bisa Kasih semalaman di sini hanya untuk memilih makanan. Akhirnya Marka memesan makanan berupa dua bungkus nasi kucing, sate telur puyuh dan tempe mendoan. Nasi kucing adalah nasi yang dibungkus daun pisang, isiannya berupa nasi rempah dengan sambal dan teri asin. Sebutan kucing karena satu porsi sedikit, bukan karena terbuat dari daging kucing. Marka sengaja memesan dua bungkus nasi kucing, karena yakin Kasih bukan kucing tapi manusia.

Saat Kasih menggigit tempe mendoan, matanya langsung berbinar. Renyah, gurih dan enak, semua tempe mendoan yang Marka pesan sudah habis dilahap oleh Kasih. Sementara Marka, cowok itu diam-diam tersenyum. Senang sekali bisa melihat Kasih kesenangan seperti ini.

“Gila, aku gak dibagi tempenya,” sungut Marka, berpura-pura kesal. Dia menyerobot potongan tempe milik Kasih lalu melahapnya, membuat Kasih memekik kesal.

“Sana ambil lagi. Jangan kayak orang susah.” Kasih mengibas-ngibaskan tangannya, mengusir Marka. Bukan mengusir, tapi menyuruh pria itu memesannya lagi.

“Ogah, nanti diabisin lagi sama kamu,” tolak Marka. Cowok itu membuka bungkusan daun pisang, menumpukkan nasi itu ke dalam satu piring rotan beralaskan daun pisang. Sederhana, tapi Marka sangat menyukai makanan ini. “Sini aku bukain.” Marka menyerobot nasi kucing milik Kasih. Dia membuka bungkusannya, sama seperti yang dilakukan sebelumnya. Setelah meletakan nasi di piring rotan, barulah Marka memberikannya pada Kasih.

“Makasih,” ucap Kasih tersenyum lebar sambil mengambil piring rotan itu.

“Jangan senyum sebelum aku makan, Kas.”

Mendengar itu, senyuman Kasih luntur. Gadis itu menatap Marka dengan tatapan bertanya. “Why?”

“Karena ternyata liat senyuman kamu butuh tenaga,” balas Marka serius, “gimana baper gak?”

“Emang kamu lagi gombal?” tanya Kasih cuek. Semua perkataan Marka di telinganya hanya sebagai angin lalu, tidak lebih menggoda dari makanan-makanan ini. Kasih menatap ke arah orang-orang di sekitarnya, memperhatikan bagaimana cara memakan ini. Ternyata memakannya langsung menggunakan jari-jari. Sambil melihat, Kasih mempraktikkan cara makan mereka. Sebelum makan, Kasih membersihkan tangannya menggunakan air yang sudah disediakan selanjutnya Kasih menirukan cara makan mereka. Sebagian mereka memakai empat jari, sebagian lagi lima jari.

Saat nasi kucing itu masuk ke dalam mulutnya kemudian dia mengoyaknya di dalam mulut setelah halus dia menelannya. Kedua sudut Kasih terangkat sempurna. “Mar, enak ya,” bisik Kasih membuat Marka tergelak.

“Kamu suka?” tanya Marka dibalas anggukan antusias oleh Kasih, “mau pesen lagi?”

Kasih menggeleng. “Enggak deh. Aku mau habisin ini dulu.”

“Takut gemuk ya?”

“Enak aja! Makan sebanyak apa pun, aku gak akan gemuk!” sungut Kasih emosi, kembali melanjutkan aktivitas makannya.

Angin malam bersemilir kencang. Dedaunan berjatuhan bak musim gugur di luar negeri. Bulan bersinar cerah dan beberapa bintang terhias di langit. Cuaca sedang dingin, tapi terasa hangat saat gelak tawa menyeruak di sini. Mereka semua berbincang-bincang dengan sangat asyiknya, sambil menonton acara televisi yang sengaja dipasang di luar. Televisi berukuran kecil, terkadang layar televisi itu buram saat angin berembus.

“Apa setiap hari mereka di sini?” tanya Kasih pelan, seolah tak ingin siapa pun menjawabnya.

“Bisa iya, bisa enggak. Jujur aja, aku juga baru pertama ke angkringan ini. Mungkin bakal sering-sering ke sini,” jawab Marka sambil tersenyum.

Rain For KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang