Selamat Membaca^^
.
.Puas bermain hujan, Marka mengajak Kasih mampir ke rumahnya terlebih dahulu karena letak rumahnya tidak jauh dari tanah lapang tadi. Kebahagiaan terpancar jelas di wajah Kasih. Melihat itu, hati Marka merasa hangat dan nyaman. Ada keinginan dalam hati, selalu membuat Kasih tersenyum dan tertawa.
Beberapa jam berlalu, Kasih baru menyadari apa yang dia lakukan tadi. Bercengkerama bersama orang asing. Bercanda ria, bercerita, meluapkan emosi di depan Marka. Kasih juga menyadari, waktu yang dia habiskan bersama Marka sangat-sangat berarti.
“Gimana muat gak?” tanya Marka saat melihat Kasih turun dari kamarnya.
Ya, saat ini Kasih ada di rumah Marka. Tadi, Kasih sempat bersapa dengan orang tua Marka. Ayah dan ibu Marka, sepertinya sangat baik. Mereka menyambutnya seperti tuan rumah menyambut tamu. Apalagi ibu Marka, selalu tersenyum ramah, hal itu mengingatkannya pada Shila—ibu kandungnya.“Muat kok. Aku langsung pulang aja ya? Thanks banget bantuannya,” balas Kasih tidak ingin terlalu lama di rumah orang asing. Bohong saja Kasih tidak kepo dengan kehidupan Marka. Dia sempat melihat foto keluarga, dan di sana tidak ada perempuan selain ibu Marka. Dari foto itu menggambarkan semuanya, tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah pakaian yang dia kenakan milik siapa? Tidak mungkin ‘kan milik ibu Marka?
“Mama nyuruh kamu makan dulu,” cegah Marka, seperti tak ingin Kasih pulang cepat.
Kasih menggeleng, dia langsung berpamitan pada ibu dan ayah Marka. Hati dan otaknya tidak sejalan. Hatinya bersikeras menyuruhnya pulang sedangkan otak menyuruhnya tetap ada di rumah Marka, sekadar makan malam bersama. Tatapan dan senyuman ibu marka, membuatnya rindu akan kasih sayang seorang ibu.
Dalam hati kian bertanya, kapan dia akan berdamai dengan takdir? Rasanya dia tidak kuat lagi menahan segala rasa rindu ini. Di sisi lain, dia cukup sadar akan kesalahannya. Diasingkan saja tidak cukup untuk seorang pembunuh sepertinya.
Pembunuh pantas mendapatkan hukuman setimpal, dan dia akan menjalani hukuman ini. Hidup tanpa bantuan pihak keluarganya. Sedikit pun, tidak.
“Kas, kamu bengong?” Marka menyadarkan lamunan Kasih. Sesegera mungkin Kasih mengambil alih kesadarannya. “Aku anter kamu pulang ya?”
“Enggak, aku bisa naik angkutan umum. Makasih.” Kasih tersenyum tipis seraya memberikan secarik kertas berisikan poin-poin penting untuk tugas prakarya. “Ini, kamu bisa ubah atau tambahin. Aku udah ngasih ide. Sampai jumpa besok.” Setelah melihat Marka menerima secarik kertas itu, Kasih melenggang pergi ke luar gerbang rumah Marka.
“Keras kepala banget,” desis Marka sembari mengantungi secarik kertas yang terlipat di saku celana. Cowok itu menaiki motor matic yang terparkir di halaman rumahnya lalu mengejar Kasih.
***
Langit sudah sepenuhnya berubah warna, indah dan mengesankan. Berjalan sampai kost-an pun, Kasih mungkin tidak masalah. Lampu-lampu terhias di sepanjang jalan. Saat masuk jalan raya, banyak motor dan mobil yang berlalu lalang. Lampu sen dari kendaraan menyorot, menyilaukan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain For Kasih
Teen FictionIni tentang Kasih dan hujannya. Diasingkan kemudian ditarik kembali, seperti sampah yang didaur ulang lalu dibeli kembali. Ini tentang Kasih, yang tidak sengaja membunuh sahabatnya sendiri. Masa lalu kelam membuat Kasih tidak pantas hidup bersama m...