14. PHO 🌿

400 74 2
                                    

Marka memang gila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Marka memang gila. Baik kelakuan ataupun jalan pikirnya. Setelah memaksa-maksanya untuk berangkat ke sekolah bersama, Kasih diajak kebut-kebutan sampai rasanya nyawa Kasih saat ini sudah melayang. Di dalam hati, Kasih bersumpah untuk membalas perbuatan Marka.

Sesampainya di sekolah, Marka dan Kasih mendapatkan banyak sorotan. Hal ini tentu membuat Kasih risi, gadis itu berusaha keras pergi dari Marka tapi Marka seperti sengaja ingin mendapat banyak sorotan. Terkutuklah wahai manusia bernama Marka Devananta!

“Dasar brengsek,” desis Kasih mencoba melepaskan diri dari cekalan Marka.

Marka tersenyum seraya berbisik, “kita ‘kan temen. Wajar dong?”

Mana ada teman antara cowok dan cewek bergandengan mesra, dengan seenak jidatnya dia berkata wajar?

“Ka, aku mau ke kamar mandi,” pinta Kasih memohon sembari mencoba melepaskan cekalan Marka. Saat cekalan Marka mulai merenggang, cepat-cepat Kasih menghempaskan tangan Marka kemudian lari sekencang mungkin.

***

Seorang gadis berambut hitam pekat sebahu tengah memperhatikan adegan mesra. Tangannya terlipat di dada, menatap dua sejoli itu dengan tatapan emosi. Gadis ber-name tag ‘Herra Bianca’ itu tak menyukai jika ada gadis lain selain Syalila dekat dengan Marka. Herra adalah adik sepupu Marka, dia yang paling mendukung hubungan sepupunya dengan Lila. Herra selalu berharap, semoga ingatan Marka segera pulih.

Kedua orang tua Marka cerita padanya. Mereka sudah mencari tahu tentang gadis yang tadi bersama Marka. Namanya Kasih, dia tidak mempunyai orang tua ataupun tempat tinggal. Sekarang ini dia tinggal di kost dengan makan seadanya. Melihatnya Herra sudah jijik. Bagaimana bisa anak seperti Kasih berkeinginan menjadi kekasih Marka.

Marka sosok yang nyaris sempurna. Para kaum hawa berlomba-lomba ingin ada di dekatnya. Disapa oleh Marka bisa dibilang anugerah, karena Marka sendiri tidak pernah menatap gadis lain selain Lila. Di hidup Marka hanya ada Lila, ya, hanya Lila seorang. Hubungan mereka kandas karena Marka kecelakaan yang menyebabkan amnesia.

Sedari tadi, Herra masih sigap menatap bengis ke arah Kasih. Gadis itu—Kasih, berlari ke arah kamar mandi. Sepertinya, waktu yang tepat untuk memberikan pelajaran agar gadis itu segera sadar diri sebelum dirinya kalap. Sebagai adik sepupu yang baik, Herra harus menyingkirkan berbagai parasit yang mengganggu kehidupan kakak sepupunya itu.

Herra masuk ke dalam kamar mandi. Tepat sekali di sana ada Kasih, dia sedang mencuci tangan sambil mencermin. Herra berdiri di belakang Kasih sambil melipat kedua tangannya di dada, angkuh. Sementara Kasih yang sadar akan tatapan di kaca, langsung menoleh.

“Mau berapa?”

Kening Kasih berkerut kebingungan. “Berapa?”

“Ya, kamu mau dibayar berapa supaya kamu mau jauhin Marka!” Herra menaikkan volume suaranya, berteriak sangat kencang hingga menimbulkan suara pantulan di dalam kamar mandi.

“Kamu mau bully aku karena deket sama Marka?” Kasih bertanya dengan nada tak biasa, lebih ke arah meledek dan meremehkan. Gadis itu memasukkan kedua tangannya di saku rok, sambil tersenyum tipis. Melihat ekspresi Kasih, tentu saja Herra naik pitam. “Tapi sorry, ini bukan film atau novel yang korban bully nangis-nangis dan pelaku bully merasa menang.”

“Aku bisa lakuin apa pun yang aku mau, termasuk jadiin kamu korban bullying. Kamu anak baru di sini, jadi kamu belum tau seberapa berbahayanya aku ini,” kata Herra, setiap kalimatnya penuh dengan penekanan dan ancaman. Herra bukanlah pelaku bullying, tapi semua orang di sini tahu seberapa berbahayanya Herra. Mungkin, karena Kasih, Herra akan menjadi pelaku bullying.

Dengan tatapan yang masih sama, Kasih terkekeh. “Aku juga bisa balikin alurnya. Mungkin kamu anggap aku ini lemah, yang bakal nangis diperlakukan jahat sama orang tapi ... aku bisa buat keadaan jadi terbalik.”

Hahaha, film? Kamu kebanyakan nonton film?” Herra tertawa terbahak-bahak. “Bye the way. Emang kamu punya TV ya?”

Mendengar itu, sontak Kasih ikut tertawa. Sementara tawa Herra surut, tergantikan dengan tatapan datar. “Gak ada TV bisa pakai handphone.” Kasih berjalan, mendekat ke arah Herra kemudian berbisik, “coba kamu searching di website, apa bisa menonton film lewat HP kalau gak bisa, bilang ke aku ya. Aku ajarin sampe bisa.” Setelah mengatakan itu, Kasih melenggang pergi. Tidak terima  mendapatkan penghinaan dari Kasih, Herra mengambil air lalu menyiramnya ke arah Kasih.

“Mampus, tembus tuh daleman kamu!” seru Herra lantaran mengejek Kasih. Baju seragam bagian punggung Kasih basah. Untungnya bahan seragam tebal, tidak mungkin nerawang kan?

Kasih berbalik, menatap Herra sambil tersenyum. Diam-diam Kasih melirik ke arah kanan, di sana ada pembersih lantai. Dia mengambil pembersih lantai itu, tatapannya masih ke arah Herra.

“Sana ngadu, palingan kamu yang di—“

Byurr

Kasih melempar cairan pembersih itu ke arah seragam Herra. Sontak Herra terpekik kaget, menatap baju seragamnya dengan tatapan jijik sekaligus marah. Berani-beraninya gadis itu mencari masalah dengannya.

“Aku emang bukan tipe pendendam. Tapi, Omaku pernah bilang ‘jangan jadi lemah’ dan sekarang kamu tahu ‘kan? Aku sama sekali gak lemah,” kata Kasih, senyuman di wajahnya perlahan luntur tergantikan oleh tatapan datar, “sekarang aku jadi pendendam. Kamu jahat aku lebih jahat, kamu baik, aku lebih baik. Camkan prinsipku itu.” Setelah mengatakan itu, Kasih langsung pergi meninggalkan Herra yang emosi. Kedua tangan Herra mengepal sempurna, ingin sekali rasanya mencabik-cabik mulut gadis itu.

***

“Kenapa kamu, Kas?” tanya Selly penasaran melihat Kasih yang sejak tadi berdiri di tengah lapangan.

Kasih diam tidak menjawab pertanyaan Selly. Memilih untuk diam sementara waktu sampai pakaiannya benar-benar mengering. Bisa saja Kasih membeli seragam baru, tapi menurutnya sayang. Harga seragam di sini bukan main, tidak sesuai dengan kondisinya. Semakin hari uang tabungannya semakin berkurang. Sampai sekarang dia belum juga menemukan pekerjaan.

“Ngomong-ngomong ya. Sejak kapan kamu jadi deket sama Marka? Inget loh, Kas dia punya pacar bahkan mau tunangan. Kamu mau jadi PHO?” tanya Selly lagi.

Lagi, Kasih hanya diam, tidak menanggapi pertanyaan Selly. Kasih mengerti apa yang diucapkan Selly, gadis itu hanya tidak ingin membuatnya terkena masalah. Benar, jika Kasih berlama-lama ada di dekat Marka maka orang akan mengira dirinya perusak hubungan antara Marka dan Lila, tapi ... apa pedulinya?

“Aku sama Marka satu kelompok, asal kamu tau itu,” jawab Kasih yang baru menjawab pertanyaan Selly setelah sekian detik, “kamu tau Herra?”

Selly melirik ke kanan dan ke kirinya, memastikan semuanya aman. “Herra Bianca maksud kamu?”

Kasih diam berpikir sejenak, memikirkan nama itu. “Ya, tadi dia mau bully, tapi untungnya aku gak kayak kamu.” Kasih tertawa pelan, mengingat saat menyiram seragam Hera dengan cairan pembersih lantai.

“Se—serius?! Herra itu sepupu Marka. Dia orangnya nekatan, bisa lakuin apa pun. Setara sama Raya. Sebaiknya kamu jauhin mereka, aku takut—“

“Aku gak takut siapa pun. Lagian pihak sekolah mau ngajuin aku ikut olimpiade, nanti saat aku bisa banggain sekolah ini mereka gak bisa apa-apa.”

“Tapi Herra dan Raya bisa kapan pun nendang kamu dari sekolah ini. Inget Kas, kamu itu jangan terlalu percaya diri dan banyak-banyakin sadar diri ... kita itu bukan apa-apa, Kas,” sela Selly khawatir, menyentuh bahu Kasih.

Kasih menepis tangan Selly. “Ya, aku harus banyak sadar diri, karena aku Audelia Kasih,” gumam Kasih sebelum pergi meninggalkan Selly.


TBC

Lagi dan lagi, update telat. Maafken semuanya🙃

Rain For KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang