34. Hambar🌿

369 71 4
                                    

🌿Happy Reading 🌿

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌿Happy Reading 🌿

Digenggam Lila, Marka tidak menolak. Dipeluk Lila, Marka juga tidak menolak. Dikecup? Jangan tanyakan itu, Marka diam bak patung Pancoran. Setiap ucapan Lila mengandung ingatan. Semakin lama Lila ada di dekatnya, semakin pula ingatan itu terkeruk. Dari mimpi yang berulang kali dimimpikan, sekarang lintasan-lintasan memori itu hinggap menyusun kepingan yang sudah pecah. Bahkan hari ini, Lila memaksanya memasak bersama. Lagi-lagi ingatan datang.

Memasak brownies simpel rasa cokelat, kesukaan Marka. Lila menyuruh-nyuruh Marka mengambil ini dan itu, menuangkan ini dan itu, mencicipi ini dan itu. Marka tidak menolak, cowok itu menerima semua perintah Lila. Marka seperti orang kebingungan. Kadang dia bengong, kadang juga dia tersadar.

“Tada! Brownies buatan chef Syalila sudah matang. Cium coba, harum ‘kan?” Lila menyodorkan brownies yang sudah dia tumpahkan ke piring, mengibas-ngibas pelan agar Marka bisa mencium aroma brownies cokelat buatannya.

“Lila, browniesnya enak enggak? Kalau enggak enak jangan dimakan.”

“Enak kok, enak banget!”

“Ih ini gosong! Rasanya pahit, kamu gila Lila?!”

Ingatan itu, menyusup paksa ke dalam otaknya. Percakapan kenangannya bersama Lila satu persatu hadir. Setetes air mata jatuh begitu saja. Dadanya tiba-tiba sesak. Rasa ingin memeluk Lila bertambah berkali-kali lipat. Berusaha menahan diri sedari tadi karena dia sadar sekali, ada hati yang harus dia jaga. Janjinya pada Kasih, janji yang sama sekali tidak boleh dia ingkari.

“Marka cobain ya?” Lila memotong brownies menjadi beberapa bagian. Mengambil sepotong brownies lalu meniup-niupnya. Dirasa sudah dingin, dia mengarahkan brownies itu ke mulut Lila. “Kok kamu nangis sih Ka? Aku tahu kamu udah jadi pacarnya Kasih, tapi setidaknya kita masih bisa sahabatan. Kalau kedatangan buat kamu sedih, aku pamit aja ya.” Gadis itu hendak meletakan brownies ke piring tapi Marka tahan. Marka menuntun tangan Lila yang masih memegang brownies itu masuk ke dalam mulutnya.

Lila bergeming, tidak percaya dengan apa yang Marka lakukan. Cowok itu menyuapi bagian sisi lain brownies ke mulut Lila. Mata Lila berkaca-kaca, senang sekali Marka tidak ketus dan marah padanya. Benar apa kata Mawar, kemungkinan besar ingatan Marka akan kembali.

“Maaf Lila,” lirih Marka.

“Maaf kenapa Marka?”

“Maafin aku yang selalu kasar sama kamu? Berkali-kali nyakitin hati kamu, bahkan di depan banyak orang. Maaf, aku minta maaf.” Marka menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Kepalanya tertunduk. Nadanya penuh dengan penyesalan.

Sementara Lila, hatinya berbunga-bunga. Matanya ikut berkaca-kaca sebelum setetes air mata turun membasahi pipinya. Dia melepaskan tangan Marka, menggenggam tangan itu kuat-kuat.

“Marka kamu ingat?”

Marka mengangguk. “Aku ingat tentang kita, Lila. Aku ingat semua tentang kita, maaf aku terlambat mengingatnya. Aku enggak berhak minta maaf sama kamu. Jujur aja aku malu, aku malu sama diriku sendiri. Semua orang menyadarkanku tapi aku enggak percaya. Banyak bukti yang menunjukkan semuanya tapi aku masih juga enggak percaya, dan malah mencintai cewek lain. Maaf ....” Suara Marka bergetar. Air matanya berjatuhan. “Seharusnya aku enggak permainin hati kamu, Lila. Seharusnya aku sadar.”

Rain For KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang