Eighteen 🔎

1.9K 151 40
                                    

"Jujur, siapa kamu sebenarnya, Alana."

Nafas Alana tercekat, matanya berkaca-kaca. Entahlah, Alana kalau sudah ditanya seperti itu merasa bingung sendiri.

"Jawab," tagih Juna yang masih sama seperti tadi.

"A-aku Alana."

"Jangan bohong!"

"AKU ALANA, JUNA. KAMU KENAPA SIH, HAH?!" bentak Alana sambil berteriak karena Alana merasa hari ini Juna sangat tidak jelas.

Seolah sadar dengan apa yang ia lakukan, akhirnya Juna mundur menjauhi Alana dengan membuang wajahnya sambil menarik nafasnya dalam-dalam.

"Maaf," hanya itu lah yang keluar dari mulut Juna, sangat lirih. Kemudian Juna berbalik badan meninggalkan Alana yang masih terdiam mematung menatap keanehan dari Juna.

Alana berjalan mengikuti Juna yang sedang terdiam merenung di sofa TV. Tatapan sayu itu seolah memancing Alana untuk ikut duduk di sebelah Juna.

"Juna," tegurnya membuat Juna menoleh.

Mata mereka saling bertemu, tetapi lagi-lagi sekelibat bayangan masa lalu selalu saja menghantui Juna setiap ia menatap Alana. Juna merasa bukan melihat sosok Alana, tetapi Diva.

Juna langsung melepas pandangannya dari mata Alana seolah tidak sanggup. "Kayaknya gak mungkin," ucapnya lirih membuat Alana mengerit bingung.

"Kenapa?"

"10 tahun yang lalu adalah waktu yang sangat lama. Jatuh dari pesawat dan dinyatakan hilang di dasar lautan itu mustahil selamat," jawab Juna membuat Alana tidak tahu apa yang Juna maksud.

"Maksudnya? Kamu lagi ngomongin siapa?"

"Cinta pertama saya dulu," balas Juna sambil menyender di sofa menatap langit-langit.

Alana bingung mau menjawab apa, kayak ada yang nyesek aja gitu saat Juna bilang gitu. Juna seolah-olah seperti orang yang sedang tersiksa.

Jadi ini alasan kamu Juna?

"Kami berteman sejak kecil," ujar Juna mulai terbuka untuk bercerita, Alana hanya menyimak saja. "Saat itu kami juga tetanggaan di Kalimantan sana, sering main bareng, selalu satu sekolah, dan lama-lama saya mulai suka sama dia," lanjut Juna sambil tersenyum membayangkan Juna dan Diva dulu seperti apa di masa lalu.

"Namanya siapa?"

"Diva," balas Juna sambil tersenyum tipis. Saat nama itu disebut, seketika Alana mengingat bahwa Juna dulu pernah menyebut nama itu.

"Sesuai namanya, dia memiliki bakat menyanyi seperti kamu, Alana. Diva selalu bilang ke saya kalau ketika kami sudah besar nanti, Diva ingin menjadi seorang penyanyi terkenal."

Kemudian Juna memberanikan diri untuk melihat Alana lagi. "Dan kamu tahu, Al. Setiap melihat dan mendengar kamu nyanyi dan menjadi terkenal, saya selalu mengingat Diva, mungkin kalau dia masih ada, dia pasti sudah seperti kamu sekarang."

Kemudian Juna menunduk ke arah kolong mejanya dan menarik sebuah album foto. Juna membuka lembar demi lembaran. Alana yang penasaran langsung saja merapat melihat isi album foto-foto itu.

"Botak, hahahaha," tunjuk Alana ke sebuah foto saat pertama kali Juna membuka album tersebut. Foto itu menampilkan Juna bertelanjang dada dengan wajah Juna yang memelas menatap kamera.

Seketika Juna menatap Alana dengan sinis, apalagi Alana tertawa puas. "Skip aja, itu waktu saya ikut Akpol."

"Ini saya dan dia dulu waktu masih SD," tunjuk Juna ke sebuah foto sepasang anak kecil berlari di pantai.

"Lalu, ini foto kami waktu MPLS saat SMA dulu," lanjutnya sambil menunjuk sebuah foto Juna dan Diva memakai atribut nyeleneh, Alana yang melihat itu hanya tersenyum saja.

"Dan ini foto kami waktu lomba tingkat SMA," terakhir ada foto Juna yang bermain piano di panggung dan disampingnya ada Diva yang memegang mikrofon seolah sedang bernyanyi.

Alana mengerit heran melihat foto itu. Seolah-olah Alana jadi teringat ucapan Gibran waktu itu.

"Kadang setiap malam dan pulang sekolah kita selalu latihan bareng, kamu nyanyi, sedangkan aku main piano. Serasi banget gak sih kita dulu,"

Itu lah yang Gibran ucapkan saat itu, tetapi jika Alana melihat lagi lebih jelas, itu jelas-jelas memang Juna yang di foto, bukan si Gibran.

Apa tuh kadal cuman ngarang doang? Pikir Alana sedikit kesal.

"Lucu, coba dong mau liat," pinta Alana dan Juna pun mengangguk sambil memberikan album itu ke Alana.

Saat album itu ada di pangkuan Alana, Alana langsung menyentuh foto itu, tiba-tiba jantungnya kaget saat ia lagi-lagi merasa de javu.

"Juna, aku nerveous banget sumpah!" Ucapnya sendiri sambil memegang tangan Juna saat mereka berdiri di belakang panggung.

Suara dentuman musik panggung dan getaran tangan Diva membuat Juna sedikit gerogi, tetapi Juna mengeratkan tangan mereka seolah memberi kekuatan. "Jangan takut, kan ada aku, kita juga udah latihan bareng selama ini, aku yakin kita pasti bisa sama-sama lewatin kompetisi ini."

"Hah?" Alana sendiri sedikit membeo karena kaget saat ia sudah sadar dari pikiran aneh tersebut, langsung saja Alana cepat-cepat kembali menyerahkan ke Juna karena tidak sanggup.

Ini aneh, ada yang gak beres. Ucap Alana dalam hatinya sambil melirik Juna.

"Aku sekarang tahu siapa aku, Jun," ceplos Alana langsung dan percaya diri.

"Siapa?" Tanya Juna heran sambil menutup album foto itu kembali dan menaruhkan ke tempat seperti semula.

"Aku Diva."

Juna mematung saat Alana berkata seperti itu, matanya tak lepas dari mata Alana. Sebenarnya Juna sedikit gak suka kalau ada yang ngaku-ngaku tentang Diva. Tak lama dari itu, tiba-tiba Juna menggeleng sambil tersenyum dan terkekeh pelan.

"Memang."

"Eh?"

"Iya, memang kamu seorang Diva terkenal, udahlah gak usah aneh-aneh," lanjutnya membuat Alana menatap Juna sinis.

Tak lama dari itu Alana sendiri ikutan tertawa. Gak mungkin juga lah ya. Batinnya sendiri saja ikut menertawakan, tetapi otaknya malah berpikiran lain seolah Alana ada hubungannya dengan cerita Juna.

Alana langsung ikut menyeder di sofa menatap langit-langit di atas, sama seperti Juna. "Apa yang bikin kamu bisa se-setia itu dengan Diva? Disaat kamu sendiri aja bilang kalau dia gak mungkin selamat dari tragedi pesawat jatuh tersebut?"

"Saya juga gak tahu. Tapi ... Saya masih ingat 10 tahun yang lalu, saat terakhir tragedi pesawat jatuh itu, saya masih sempat menjemput Diva ke bandara karena dia lolos audisi nyanyi di Jakarta. Di depan bandara, saat itu kami berpamitan, dia sempat berkata 'setelah aku lolos, kamu tunggu aja aku di Jakarta, dan di Jakarta nanti kita bakal keliling ke tempat yang belum pernah kita kunjungi' ucapan itu yang dia lontarkan, apalagi saya menagih janji  dan dia berani untuk bilang janji atas ucapannya itu."

Juna langsung menatap Alana, sadar ditatap oleh Juna, membuat Alana menoleh dan mereka saling kembali bertatapan. "Dan kamu tahu, Alana. Sampai sekarang saya masih menagih janji itu seolah itu pertanda bahwa dia akan menepati janjinya sekarang."

SEMPITERNAL : Everything Has Changed (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang