Thirty Three 🔎

1.7K 127 2
                                    

"Lupakan soal janji itu, kita sekarang udah masing-masing."

Mulut Alana bergetar hebat, lalu mengusap wajahnya dengan kasar, benar-benar tak habis pikir dengan pria yang saat ini sudah ada di depannya.

"Bisa diulang?"

"Kita udah masing-masing," tekan Juna sekali lagi.

"Oke! Oke kalo itu mau Lo!" Balas Alana final. "Oh ya, satu lagi, jangan pernah cari gue lagi, hubungin gue lagi, hapus semua kenangan-kenangan kita, kita selesai!"

Juna menatap mata Alana dengan serius seolah ada yang ingin ia ungkapkan tapi tak bisa di tebak oleh Alana.

"Baik."

"Jaga tuh cinta pertama Lo dulu, jangan sakiti dia, tapi kalo gue yang sakitin dia, gak masalah lah ya?" Ujar Alana bercanda tapi membuat Juna menatapnya tajam. "Gue pamit."

Kemudian Alana berjalan ke depan dan membelakangi Juna, Alana melirik sebentar ke arah Diva yang sudah mengejeknya sambil menjulurkan lidah membuat Alana merinding.

"Cewek kok pick me, kalo masih ngincer payung diskonan gak usah banyak halu!" Cetuk Alana kemudian pergi meninggalkan Juna dan Diva berdua.

Entah kenapa, hari ini sifat asli Alana mulai keluar. Alana sedikit menjadi cewek yang agak kasar, namun di balik itu semua, banyak sekali kesedihan yang berusaha Alana tutupi.

Alana sebenarnya tidak membenci Diva dari awal, tapi sifat licik yang ada pada diri perempuan itu lah yang memancing Alana untuk emosi dan arogan.

Alana keluar dari pusat belanjaan, saat diluar, tiba-tiba hujan deras membasahi tubuhnya, Alana terdiam saja merasakan guyuran air hujan itu, seolah-olah hidupnya dihujani masalah dan tidak akan pernah selesai-selesai.

Jika kata Sempiternal cocok untuknya, maka Alana akan tertawa, ya, dia hidup dalam masalah yang abadi, bukan kebahagiaan yang abadi.

Alana sudah kehilangan ingatan dalam dirinya, lalu keluarga, teman, masa lalu dan sekarang ia kehilangan Juna yang dulu selalu mendukungnya, tempat Alana mengeluh, kini ia tak ada siapa-siapa lagi yang bisa ia diandalkan dalam hidupnya, Alana hanya punya Tuhan di hatinya.

*

Karina tersenyum-senyum sendiri di depan cermin besar yang ada di ruangan tengah, ia membongkar isi lemari sepatu dengan berbagai macam merk ternama, terlihat sekali sepatu-sepatu itu sudah lama tidak ia pakai. Sepatu-sepatu itu sudah ada sejak dulu sebelum ia menikah dengan Gibran, selalu ia pakai untuk catwalk, fashion show, dan sejenisnya yang berhubungan dengan dunia permodelan.

Karina tampak terlihat bahagia saat memakai sepatu yang dulu ia sering pakai, Karina Juna melihat foto-fotonya dulu saat di luar negeri karena jadi foto model profesional yang tersebar di seluruh majalah dan iklan brand ternama.

Karina rindu itu semua, mangkanya ia mau coba catwalk lagi, Karina pun berjalan lenggak-lenggok karena tidak berhati-hati, ia pun tersandung oleh highheels-nya sendiri membuat Karina yang kaget langsung berteriak.

"Aghh!!" Ternyata, Karina tidak merasakan tanda-tanda ia terjatuh ke belakang, tapi ia merasakan ada sebuah tangan yang menahan tubuhnya. Karina pun membuka matanya, ternyata sudah ada Gibran yang menatapnya membuat Karina meneguk salivahnya kasar merasa gerogi.

"Mangkanya hati-hati!"

Karina pun bangkit sambil cemberut menatap Gibran. "Sejak kapan kamu disini?!" Tanyanya agak ketus.

"Sejak dari tadi kamu ketawa-ketawa sendiri ngebongkar lemari sepatu kayak orang gila, mana fashion show gak tau tempat lagi," olok Gibran yang terdengar tak punya hati membuat Karina berdecak sebal.

"Idihh, suka-suka saya lah! Orang saya yang punya sepatu."

Karina berbalik badan membelakangi Gibran, ia benar-benar malu karena aksinya terciduk. Karina pun pura-pura sibuk merapihkan lemari sepatu dan menyusunnya kembali, sebuah kumpulan majalahnya dulu mau Karina masukkan, tapi tangannya sudah di tahan oleh Gibran.

"Masih nyimpen?"

Karina berbalik badan menatap Gibran dan menatap majalah itu secara bergantian. "Iya lah, majalah-majalah ini adalah kenang-kenangan saya dulu, emang napa sih?!"

Gibran terdiam seolah ada yang ingin ia ungkapkan. Kemudian Gibran tersenyum, senyuman yang sepertinya terlihat tulus untuk Karina setelah sekian lama mereka sudah menikah.

"Maafin saya, karena saya, kamu gak bisa melanjutkan jadi model profesional. Pencapaian yang dulu kamu dapatkan sangat luar biasa dan saya tahu kamu gak main-main untuk pencapaian itu, sampai hari itu tiba, kamu dengan terpaksa meninggalkan semua itu hanya untuk mengurus Alvin. The real good mom."

Karina tersentak kaget, apakah ini sungguh mimpi siang baginya?

Karina menatap Gibran dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kalau menurut pendapat kamu kemarin kalau kamu yang salah lah, kalau kamu yang sudah jadi penyebab penghalang saya dan Alana gak bisa bersatu lah, kamu salah. Entah angin hidayah dari mana kalau saya bicara ini sama kamu, tapi, satu hal yang kamu tahu, bahwa dari awal saya yang merasa selalu bersalah atas hidup kamu, nasib kamu, dan semuanya. Inget, jangan pernah salahin diri kamu sendiri, kamu udah banyak berkorban untuk keluarga ini."

"Huaaaaewkk," Karina langsung menangis mewek dan gak mau jaim-jaiman kayak cewek lain yang kalo lagi nangis pasti cantik, Karina mah masa bodo sambil menarik ingus dan melapnya di baju, apalagi di depan Gibran.

Gibran tertawa, kemudian ia memeluk Karina seolah memenangkannya. "Maaf ya Karina, selama ini saya cuek ke kamu, ke Alvin. Saya masih butuh banyak proses untuk menerima kalian."

*

Alana sedang berlatih berpanah dengan Vita, karena mereka sudah lama tidak bermain. Sedari tadi Alana hanya diam, fokus ke arah target seolah gak mau diganggu.

"Fokus, tatap mata Medusa, set!" Teriak Alana saat ia menarik busur panahnya dan saat busur panah berada tepat di tengah papan target barulah Alana selebrasi. "Yes, pecah palak kau!"

Vita yang berada di sampingnya hanya keheranan sedari tadi, ia pun tersenyum-senyum sendiri. "Tumben amat Lo gitu, Al. Biasa kalee."

"Gue putus dari Juna, Vita!!" Teriak Alana membuat Vita kaget.

"Astaga?!" Vita tampak mematung keheran, ia pun melamun seolah ada yang ia pikirkan dengan berat. "Ini Lo serius?"

"Beneran, cewek dia di masa lalu udah kembali di hidup dia, kasian banget ya gue?" Balas Alana walaupun tetap fokus bermain panah.

Vita yang tadinya ikut bermain panah langsung mundur dan pergi meninggalkan Alana tanpa berpamitan, Alana pun keheranan langsung menoleh ke belakang.

"Mau kemana, Vita?"

"Ada projek baru!" Balas Vita membuat Alana terkekeh dan lanjut bermain.



SEMPITERNAL : Everything Has Changed (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang