"Maaf,"
Yerin mengangkat kepalanya, dia lantas tersenyum kala melihat siapa yang berada di sampingnya. Senyuman yang khas, menampilkan gummy smile juga eyes smile, meski ini hanya sebuah kepalsuan. Namun, Yerin berhasil membuat gadis di sampingnya balas tersenyum, walau ia hanya tersenyum sedikit saja.
"Maaf karena aku gagal membuat akhir bahagia untuk semua orang."
"Kenapa? Kenapa kau berbicara seperti itu, hm?" Yerin memang tetap dengan senyumannya, tapi air matanya terus jatuh.
"Seharusnya hari itu memang tidak ada, seharusnya aku tidak bergaul dengan orang-orang tak berguna di sana, seharusnya aku menuruti semua perintah Sowon eonie, seharusnya aku berbakti pada kalian semua, seharusnya aku tak memikirkan diriku sendiri, seharusnya aku—"
"Hentikan," pinta Yerin, senyumannya memudar saat ini juga.
Sinb menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa berhenti, aku tidak bisa berhenti untuk tidak menyalahkan diriku sendiri. Aku tidak bisa, Eonie~"
Yerin hendak meraih tubuh Sinb, namun gadis itu segera beranjak dari tempat duduknya. Tidak tinggal diam saja, Yerin pun ikut beranjak dan meraih tangan adiknya.
"Jangan memegangku seperti ini di sini, Eonie."
"Apa salahnya?"
"Aku tidak pantas memperlihatkan diriku lagi di sini, aku tidak pantas menetap dan ikut bahagia dalam kehidupan kalian."
Yerin melirik seluruh orang yang berada di taman rumah sakit, menyadari posisinya yang berada di keramaian, Yerin segera melepaskan genggaman tangannya.
"Kau tahu kenapa aku begitu ingin kau bertahan, bukan? Sinb yya, kau tahu Eonie berusaha sekuat mungkin agar tidak mengatakan segalanya hari itu juga, bukan? Eonie melakukan semua itu, karena Eonie ingin kau bertahan."
"Tapi sekarang sudah terlambat, sekarang tidak ada yang bisa diperbaiki. Semua telah selesai, semua hanya sampai di sini saja."
"Berhenti menyebutkan kata selesai, kau masih akan menetap bersamaku, bukan?" Yerin meraih tangan Sinb lagi, ia mempertipis jarak di antara keduanya.
Sinb tersenyum sedetik, melepaskan genggaman tangan Yerin. Jemari itu terangkat, dengan penuh cinta mengusap-usap wajah kakaknya. Telunjuk Sinb berakhir tepat di bibir Yerin, mengusapnya sambil tersenyum sayu.
"Kau tahu aku menyayangimu, bukan?" tanya Yerin pelan.
Sinb mengangguk, fokusnya hanya bisa bibir Yerin yang sangat manis, juga jemari yang tak henti mengusap bibir itu.
"Jangan berniat pergi dari siapa pun, apalagi dari kehidupanku. Karena sampai kapan pun, kau adalah adikku, Kim Sinb adalah adikku!" Yerin menegaskan, suaranya gemetar khas orang menangis.
"Yerin eonie," panggil Sinb serak.
"Ya?"
"Ada beberapa hal yang harus kau ketahui dari hari itu, ada sesuatu yang mungkin akan mengejutkan kalian semua. Namun ... Bisa aku meminta satu hal sebelum kalian mengetahui segalanya kelak?"
"Apa? Apa yang kau inginkan? Dan, sesuatu apa? Tentang apa?"
Sinb menggigit bibir bawahnya cemas, ia memiringkan kepalanya sambil tersenyum lebih lama sekarang. Sorot mata Sinb terangkat, menatap lamat kedua mata Yerin yang begitu teduh.
"Jangan menangis, Eonie. Seorang putri tidak menangis," kata Sinb, ia menyeka jejak air mata yang ada di pipi Yerin.
"Katakanlah ... "
"Jangan merasa bersalah setelahnya, jangan merasa terbebani setelah mendengarnya. Aku ingin melanjutkan langkahku dengan tenang, jadi aku mohon dengan sangat ... Jika kalian mendengar semuanya, tolong jangan merasa bersalah atau terbebani. Aku akan baik-baik saja jika kalian mau menerimanya," perjelas Sinb.
"Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti, Sinb ah ... "
"Kau akan mengerti nanti. Setelah keadaan memungkinkan, aku akan mengatakan segalanya kepada kalian semua."
"Sekarang kau mau pergi ke mana?"
"Aku harus menghilang sementara, setidaknya untuk menenangkan hati dan pikiran kalian semua. Setelah dirasa tenang, aku akan kembali untuk memberitahukan segalanya."
"Tidak, jangan pergi dari sini."
"Maaf, tapi ini lebih baik."
Yerin hendak meraih lengan Sinb, namun secara nyata Sinb malah tak bisa ia gapai. Yerin menggelengkan kepalanya, dia mencoba menggapai Sinb dan dengan segera Sinb selalu pandai menghindarinya.
"Kenapa kau melakukan ini kepadaku?" tanya Yerin.
"Karena memang kenyataannya begini, Eonie." jawab Sinb.
"Hentikan! Aku perintahkan untuk kau menetap! KIM SINB AKU BILANG MENETAP!!!"
"TIDAK!!!"
Yerin ambruk, dia menangis pilu saat Sinb tak menghiraukannya. Para pasien atau pengunjung yang ada di sana, jelas menatap Yerin dengan tatapan iba.
.
.
."Eunha yya," panggil Sowon.
"Apa?" tanya Eunha dingin.
"Jangan seperti ini, kejadian itu adalah sebuah kecelakaan. Eonie tidak tahu jika Yuju akan jatuh dan begini," ucap Sowon penuh harap.
"Aku tidak menyangka kau akan seperti ini, Eonie. Kau tahu? Karena ulahmu, sekarang Yuju harus berakhir dengan perlatan medisnya!"
"Kenapa kalian selalu berdebat di depanku?" tanya Umji, ia yang sejak tadi duduk pun akhirnya beranjak.
Sowon dan Eunha menoleh ke arah Umji, seseorang yang menjadi lebih berani dari biasanya.
"Kenapa kalian selalu saja membuatku muak? Apa tidak ada tempat untuk kalian berdamai dan saling mendengarkan satu sama lain?"
Sowon mengangguk setuju, namun Eunha hanya diam melamun.
"Kalian itu sudah dewasa, bukan saatnya berselisih paham dan berurusan dengan masalah. Hidup bukan tentang membuat masalah, tetapi tentang menyelesaikan masalah."
Eunha memalingkan pandangannya. "Kau tahu siapa Kim Sinb, bukan? Kau tahu mengapa kita harus terus bermasalah begini, bukan?"
"Itu karena kita yang tak mau saling mendengarkan dan menerima," kata Umji dengan keberanian yang berapi-api.
"Tapi sekarang Yuju? Bagaimana jika kita kehilangan Yuju juga?" tanya Eunha lirih, ia bahkan sampai menutup wajahnya merasa tidak kuat.
"Menangislah~" kata Sowon, ia pun meraih tubuh Eunha dan merengkuhnya.
Umji menatap tubuh Yuju yang begitu kaku, menetap di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat. Peralatan bersamanya, seolah ia tak bisa hidup lebih lama lagi. Sepertinya memang tidak ada kesempatan bagi akhir yang bahagia untuk semua orang.
"Aku takut Yuju pergi juga~ Aku bukan tidak menginginkan hadirnya~ Aku hanya merasa sakit saja ketika aku melihatnya~" adu Eunha sambil menangis pilu dalam rengkuhan Sowon.
"Eonie juga sama, rasanya dia lebih baik lenyap untuk selama-lamanya. Tapi ... Kita sendiri yang membuat dia bertahan di sini, kita yang membuat dia harus bekerja keras sampai pada akhirnya ... Kita justru malah membuatnya semakin menderita," perjelas Sowon, ia mengecup puncak kepala Eunha sesekali.
"Aku hanya ingin dia baik-baik saja, aku hanya ingin tidak bergantungan padanya, karena aku tahu, kalau dia itu tidak sama lagi," perjelas Eunha semakin menambah rasa sedih di sana.
"Dia ... Menetap hanya untuk memperbaiki kesalahannya, Eonie. Jadi aku pikir, tidak ada salahnya juga jika dia mempunyai tempat di antara kita," sahut Umji dingin.
"Tapi bagaimana jika nanti kita tak terbiasa? Aku takut kalau nanti aku tidak bisa melupakannya dan—Aku tidak bisa melanjutkannya." Eunha menunduk dalam setelahnya.
Kamis, 8 Juli 2021.
Thank you for vote and coment 🛌