Arthur POV
Banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Aku tak mengira bahwa keseluruhan dalam hidupku dominan terhadap kebahagiaan atau sebaliknya. Karena selama ini aku dapat merasakan semuanya.
Kasih sayang dari keluarga angkat ku, cinta terhadap kekasih ku serta anak-anak ku, lelah dalam pekerjaan, bahkan bermacam teka-teki yang tak kunjung lepas dari hidupku.
Sejujurnya sejak awal aku tak berpikir semuanya akan serumit ini. Akan tetapi, karena keputusan sepihak ku, hal ini terjadi. Maka aku harus mempertanggungjawabkannya dan menyelesaikan nya hingga tuntas.
Aku percaya pada Gennady. Sangat percaya.
Hanya saja, aku masih meragukan tentang apa yang sebenarnya terjadi di keluarga Gibsen, keluarga kandung ku sendiri.
Dahulu sekali, entah apa alasannya Andrew menemukanku dan mengasihani ku sehingga ia mengadopsi ku sebagai anaknya.
Menurut keterangan Karin, ia kehilangan anaknya ketika di bandara saat itu. Keramaian dan kesibukan yang padat di sekeliling membuatnya tak sadar ketika ada seseorang yang membawa kabur diriku.
20 tahun lebih waktu berlalu hingga kebenaran terungkap. Keluarga Gennady mengadopsi anak tunggal keluarga Gibsen. Dua keluarga yang menyimpan dendam puluhan tahun, namun harus berhubungan dengan hal seperti ini.
Apakah itu masuk akal?
Entah mengapa, akhirnya aku berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak benar disini. Sepertinya ada seseorang yang dengan sengaja melakukan hal ini, entah dengan tujuan apa.
"Ar, ada seseorang yang mencari mu," ujar Calvin.
"Siapa? Bukankah aku sudah mengatakan untuk mengosongkan jadwal ku di hari ini."
"Dia bersikeras dan mengatakan bahwa kau harus bertemu dengannya, sepertinya dia tidak main-main karena itu aku menyampaikan padamu."
"Baiklah, biarkan dia masuk."
Sesaat kemudian terlihat lah seorang pria paruh baya yang masih tampak gagah. Hanya mengenakan baju kaos polos dan celana jeans selutut, dengan rambut yang sedikit beruban dan kacamata yang menghiasi wajahnya.
"Maaf mengganggu waktu mu," ujar orang tersebut.
"Ya, tak masalah. Aku harap kau akan mengatakan sesuatu yang memang benar-benar penting setelah bersikeras untuk menemui ku."
"Tentu saja, ini adalah sesuatu yang sangat penting yang harus kau ketahui." Memahami arah pandang mata pria paruh baya itu, aku pun mengisyaratkan pada Calvin untuk keluar dari ruangan.
"Maka katakanlah"
"Aku adalah keturunan Marcos." Aku mengernyitkan dahi ku bingung, tak mengerti dengan maksud ucapan pria ini.
"Kau benar-benar belum mengetahui tentang Marcos? Apakah Leaman tak mengatakan sesuatu padamu mengenai hal ini?"
"Tidak, dia sama sekali tak mengatakan sesuatu tentang Marcos."
"Huh, kalau begitu biar ku jelaskan. Marcos adalah orang yang menikah dengan nenek buyut mu terdahulu. Tidak, dia bukan benar-benar nenek mu, hanya seperti adik dari nenek buyut mu. Namanya adalah Eljey."
"Eljey? Aku seperti pernah mendengar nama ini ..." Aku mencoba mengingat, siapa seseorang yang menyandang nama ini, hingga akhirnya aku tersadar.
"Apakah yang kau maksud adalah Eljey kekasih Aldrich? Eljey Gibsen?"
"Ya, masa itu Eljey merupakan kekasih Aldrich sebelum Marcos memasuki hidupnya."
"Tunggu, jika mengingat tahun semua permasalahan ini terjadi, bagaimana kau bisa mengetahui informasi secara detail seperti ini? Bukankah ini masalah puluhan tahun silam?"
"Panjang ceritanya jika harus aku ceritakan semua. Intinya, aku bukan keturunan murni Marcos, buyut ku adalah orang kepercayaan nya yang pada akhirnya juga melahirkan anaknya, bisa dikatakan aku keturunan haram dari pria itu."
"Keturunan haram ya, lalu apa sebenarnya tujuan mu mengatakan ini pada ku?"
"Aku dan keluargaku selalu berusaha untuk terus menyelesaikan kasus ini. Namun orang tua ku gagal melakukan hal itu karena pada akhirnya mereka ketahuan dan dibunuh oleh anggota keluarga Marcos tanpa tau bahwa masih ada satu orang dari keluarga ku yang selamat dalam insiden kebakaran yang mereka sebabkan."
"Orang itu adalah kau?" Pria itu mengangguk.
"Sebelum itu, apakah aku boleh tau siapa namamu?"
"Kau bisa memanggil ku Ramon. Satu hal yang perlu kau ingat, bahwa aku tidak berada pada kubu mana pun, baik itu di pihak Gennady, pihak Gibsen, maupun pihak Marcos. Misi ku hanyalah untuk menyelesaikan kasus ini dan menghapus hal-hal tak bermoral yang terjadi diantara ketiga keluarga ini, khususnya dari sisi Marcos."
"Hal tak bermoral, apa maksudnya?"
"Aku tak bisa menceritakan keseluruhannya disini. Ada terlalu banyak mata disekeliling mu, kau perlu berjaga-jaga. Intinya, kau bisa mencari ku kapan pun kau membutuhkan bantuan, aku seperti ini bukan untuk mendukung mu, hanya saja aku tau kita memiliki tujuan yang sama." Setelah mengatakan hal itu, Ramon segera bangkit dari duduknya dan hendak meninggalkan ruangan ku.
"Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, aku yang mengantar mu agar masuk ke dalam rumah Gennady." Ia pun segera pergi dan meninggalkan ruangan ku.
Aku memang tak berniat untuk menahannya. Karena apa yang dikatakan oleh Ramon itu benar adanya. Di sekeliling ku terlalu banyak mata, jadi kami harus berhati-hati terlebih ketika membahas masalah yang sangat sensitif seperti ini.
Jika benar pria itu mengetahui cukup banyak informasi mengenai Marcos dan Eljey, maka mungkin dendam Gennady pada Gibsen dapat dihapuskan dengan kebenaran yang sesungguhnya. Itu pun jika seandainya kebenaran itu ada pada sisi yang positif.
Telepon berbunyi di nomor pribadi ku, sudah jelas ini panggilan dari orang yang ku kenal. Melihat nama "mine" yang tertera disana, segera aku mengangkat telepon dari Aubree tersebut.
"Halo Bree ..."
"Apa?! Baiklah, aku akan segera ke sana sekarang juga."
Mendengar Airel pingsan dan akan segera dibawa ke rumah sakit, aku bergegas keluar dari kantor ku. Ya Tuhan, masalah apa lagi ini, semoga putri ku baik-baik saja.
Setibanya aku di rumah sakit, aku melihat Aubree dalam keadaan yang kacau. Matanya sembab, dan wajahnya pucat. Dia pasti sangat ketakutan.
"Bagaimana keadaannya Bree?" Tanya ku sembari memeluk tubuhnya, menghilangkan kekhawatiran yang ia rasakan.
"Dokter bilang tak ada masalah serius, demamnya terlalu tinggi dan ia tetap memaksakan tubuhnya untuk bermain, karena itulah tubuhnya melemah dan kemudian pingsan. Meski begitu, dokter juga menyarankan agar Airel di rawat inap dulu sementara waktu ini."
"Syukurlah kalau begitu."
"Maaf mengganggu pekerjaan kantor mu," ujar Aubree menatap wajah ku.
"Apa yang kau katakan, sebagai ayahnya memang sudah seharusnya kau mengabariku, bagiku tak ada yang lebih penting selain anak-anak dan dirimu." Aubree tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Dimana Arsen dan Aidan?"
"Karena terburu-buru, aku menyuruh mereka untuk tetap tinggal di rumah. Sepertinya kita juga harus mengabari mereka kalau Airel sudah baik-baik saja, mereka juga pasti sangat khawatir"
"Baiklah kita pulang sekarang, membawa anak-anak sekaligus menyiapkan keperluan Airel selama di rumah sakit." Ia mengangguk dan segera mengambil tas nya. Sebelum kami keluar dari ruangan itu, ia terlebih dahulu mencium kening Airel yang sedang tertidur.
"Tunggu mommy ya sayang, kamu istirahat dulu"
Awalnya aku berpikir untuk menceritakan kejadian di kantor siang tadi pada Aubree, namun karena sedang dalam kondisi yang seperti ini akan lebih baik aku menundanya terlebih dahulu. Biarkan kami merawat Airel hingga ia sembuh, barulah mencari tau informasi lebih lanjut mengenai hal itu.
⚠️ Vote dan komen ⚠️
![](https://img.wattpad.com/cover/252073726-288-k528968.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's [END]
RomanceF O L L O W S E B E L U M M E M B A C A ! ! "Bagaimana sekolahnya?" "Seru mom. Teman-temannya baik," ujar Airel menjawab pertanyaan Aubree. "Iya mom, untuk hari ini belum ada yang mengejek kami seperti biasanya." Aidan menimpali. Aubree tertegun...