38. Untuk pertama kalinya

231 18 18
                                    

Setelah kepergian Restu mereka kembali semula menikmati keasyikan berkumpul. Bian laki-laki itu masih saja setia tiduran beralaskan paha Ratu. Sebenarnya Ratu tidak keberatan, namun ia hanya khawatir dengan keadaan Bian yang tadi katanya sudah tidak apa-apa.

Ratu mengelus rambut hitam legam milik kekasihnya itu, sembari mencomot cemilan yang di sediakan di depannya.

"Sebentar lagi mau ujian nih. Gue kok gak siap apa-apa ya?" Celetuk Azkia memulai pembicaraan.

"Lah iya bentar lagi mau ujian ya? Kok perasaan cepet banget. Kayaknya baru kemarin deh kita kelas 12 udah mau lulus aja," timpal Divya yang matanya masih selalu fokus melihat keadaan sekitar. Demi Tuhan Divya sangat takut jika nanti papah Surya tiba-tiba datang dan memergoki dirinya ada di sini. Bisa-bisa nanti Surya akan bertengkar hebat dengan papahnya.

"Dua bulan lagi kita ujian akhir, habis ujian akhir ujian berbasis komputer habis itu seleksi masuk kuliah dong? Anjir! Cepet banget ya? Mana gue belum nentuin mau kuliah dimana lagi!" Sahut Elvina yang di angguki mereka.

"Bener si, gue juga belum mikir habis lulus SMA ini mau kemana. Secara otak gue yang minim ini belum tentu masuk ke perguruan tinggi negeri. Paling mentok ya swasta." Jujur saja jika membahas mengenai pendidikan Ratu selalu saja merasa minder. Karena otaknya yang pas-pasan membuat dirinya harus ekstra super belajar supaya dirinya dapat masuk di perguruan tinggi negeri.

Berbeda lagi dengan teman-temannya. Teman Ratu walaupun di lihat dari covernya macam orang goblok bin tolol tapi pinternya minta ampun. Albert Einstein aja lewat. Lewat doang gak mampir si, kalau entar mampir apa gak bumi ketar-ketir.

Contohnya Elvina, walaupun covernya urakan seperti itu dia memiliki kecerdasan otak yang sangat besar. Bisa dibilang dia adalah paling pinter diantara mereka berempat. Sayang aja pinternya di tutupin sama tingkahnya.

"Lu kan pinter sastra, Tu? Kenapa gak coba masuk jurusan sastra aja?" Saran Divya yang diangguki semuanya.

"Makanya itu gue salah masuk jurusan. Seharusnya gue masuk jurusan bahasa eh malah masuk IPA," keluh gadis itu yang membuat mereka memutar bola mata malas.

"Iya udah masuk sastra aja kalau lu bingung."

"Iya gak segampang itu, Div. Gue rada-rada takut sama nilai-nilai gue yang minim," jawab Ratu sembari mengelus rambut hitam Bian dengan gerakan lambat dan penuh perasaan.

"Aelah ngapain takut? Gue yakin lu bakalan keterima kok," ucap Divya mendukung penuh Ratu.

"Elu sendiri mau masuk perguruan tinggi mana, Div?" Divya bungkam saat pertanyaan yang dicetuskan oleh Azkia dengan tiba-tiba.

"Nah iya, dari tadi lu nyemangatin gue aja. Jangan-jangan lu gak tau mau masuk perguruan tinggi mana," timpal Ratu mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ah, gue lulus SMA ini langsung kerja. Cari duit buat biaya sekolah adik gue," jawab Divya yang membuat mereka semua kembali mendesah kecewa untuk kedua kalinya.

Divya ini tergolong murid pintar tapi sayang ekonomi dirinya yang selalu saja menghalangi gadis itu untuk melangkah meraih kesuksesannya. Ternyata menjadi pengganti orang tua itu sangat susah dan Divya sekarang tengah merasakan hal itu

"Kenapa lu gak nyoba jalur beasiswa dulu, Div? Siapa tau keterima kan?" Ratu coba bertanya langsung ke intinya, karena dia tau jika Divya mengalami kesulitan dalam hal ekonomi.

Divya menggeleng lemah. Ia menjadi terdiam untuk sesaat. Sebenarnya apa yang dikatakan Ratu itu benar, tapi Divya tak yakin dengan kemampuan dirinya sendiri.

"Dia bakal kuliah kok tenang aja," celetuk Surya tiba-tiba yang datang bersama Gilang, Kaffi dan Raif.

Semua perempuan yang berada di pendopo menoleh menatap Surya yang tiba-tiba sudah muncul di hadapan mereka sembari membawa bakaran yang baru saja mereka buat. Pun sama dengan Kaffi, Gilang dan Raif yang berada dibelakangnya.

My Innocent Boyfriend (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang