Di ruangan pasien Restu tengah duduk disamping ibunya yang tengah terbaring lemah. Dengan sangat sabar, Restu menunggu beliau sadar seraya menggenggam tangannya yang dingin.
"Bun, Restu disini. Sampai kapan bunda tertidur? Sekarang sudah hari kedua bunda tidak sadar. Restu takut, bunda." Suara Restu terdengar sendu. Matanya yang nampak seperti panda tersebut membuktikan bahwa ia kurang tidur dalam dua hari ini.
Restu lebih banyak begadang untuk menemani ibunya daripada memejamkan mata barang sebentar. Ia terlalu takut jika ia tertidur esoknya ia tidak dapat bertemu dengan ibunya dengan jangka waktu yang sangat lama. Bahkan selamanya. Restu takut hal itu terjadi.
Saat tengah malam tadi Restu berusaha untuk menutup matanya, tapi mimpi buruk tentang ibunya selalu menghantuinya. Membuat Restu takut untuk menutup matanya kembali.
Menghela nafas panjang, Restu mengecup punggung ibunya yang terdapat infus. "Bunda harus tetap kuat. Bunda harus bisa lihat kita lulus SMA, terus lulus dari perguruan tinggi. Bunda juga harus lihat Restu menjabat tangan calon istri Restu nanti."
Restu lelah. Ia masih menunggu dengan harap ibunya akan terbangun dan sehat kembali. Tapi kenyataan membuat Restu berkali-kali berdoa untuk kesehatan sang ibunda.
Telinga Restu menangkap sebuah suara pintu terbuka, membuat dirinya menoleh menatap pintu tersebut.
Ternyata papahnya yang baru saja pulang ke rumah untuk mengambil sesuatu. Kemarin waktu papahnya bertemu dengan dokter yang menangani sang ibunda, Restu tidak diberitahukan informasi apapun oleh papahnya. Papahnya hanya tidak ingin membuat dirinya terlalu berpikiran jauh tentang penyakit ibunya.
"Restu kamu gak sarapan dulu? Nanti buburnya keburu dingin gak enak, Nak," tutur papa Restu sembari menepuk pundak anak laki-lakinya.
Restu hanya mampu menggeleng dengan genggaman tangannya dengan sang Ibunda yang tak pernah terlepas.
"Sudahlah, Restu, biar bunda mu istirahat dulu. Kalau kamu seperti ini bunda mu pasti marah sama papa, karena membiarkan anak laki-lakinya terlihat berantakan seperti ini."
"Pah? Bunda bisa sembuh kan? Bunda pasti bisa sehat kembalikan, pah?" Papah Restu hanya mampu menghela nafas. Untuk sekian kalinya Restu selalu melontarkan pertanyaan yang sama dimana Liam-sang papah tidak dapat memberikan jawaban yang pastinya.
"Berdoa ya, nak, semoga bunda mu bisa pulih," kata papah Restu tersenyum hangat menatap anaknya yang saat ini tengah lesu duduk di seberang ranjang istrinya.
Kata apa lagi yang sanggup Liam katakan selain berdoa dan meminta kepada sang pencipta untuk kesembuhan sang istri. Disini Liam berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Liam tidak ingin menampakkan wajah sedihnya di depan anaknya. Restu tidak boleh tau jika sebenarnya papahnya merasakan apa yang dirasakan anak laki-lakinya.
••••
Sepulang dari alun-alun, Bian beserta teman-temannya pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Ratu yang pulang ke rumah Bian karena dirinya akan menginap di sana sekitar tiga hari ke depan.
Bian memasang wajah cemberut karena Ratu yang langsung meninggalkan dirinya. Padahal ia masih duduk diatas Jami motor hijau kesayangannya.
"RATU!!!" Panggil Bian nyaring. Ratu yang sudah berjalan didepannya hanya memutar bola mata malas. Ingatkan bahwa dirinya masih marah dengan Bian.
"RATU!!!" Ratu menghela nafas pasrah. Akhirnya dia mengembalikan badannya untuk menatap Bian.
"Apa?" Jawab gadis itu jutek.
"Tunggu Bian!" Katanya dengan cepat melepas si Lehar. Setelah terlepas, laki-laki itu langsung berjalan cepat menyusul kekasihnya.
"Ratu masih marah, ya?" Tanya nya begitu ia sudah berdiri disamping kekasihnya. "Jangan marah, Bian gak bisa kalau di diemin, Ratu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Innocent Boyfriend (ON GOING)
Romansa[Genre : romance, komedi] Ini hanyalah kisah seperti umumnya dimana seorang laki-laki yang beruntung bertemu dan memiliki perempuan secantik pacarnya. Ketika mereka di permukaan untuk melengkapi bukan mem-bebani. Selain itu kalian juga akan di hibur...