41. Blaisz family [1]

230 14 1
                                    

Malam berganti pagi dan detik berganti menit dan menit berganti jam. Matahari belum sepenuhnya muncul ke permukaan. Masih terlihat malam karena jarum jam masih menunjukkan pukul lima pagi.

Saat ini Ratu sedang berada di rumah Bian untuk menginap selama tiga hari. Entahlah Ratu tidak tau alasan yang tepat kenapa papahnya menyuruh dirinya untuk menginap di rumah temannya. Biasanya jika papah Ratu akan pergi perjalanan bisnis selalu saja sendiri tidak pernah melibatkan ibunya untuk ikut. Tapi sekarang kenapa tiba-tiba? Dan yang semakin membuat Ratu memikirkannya adalah kemarin.

Yah, baru saja kemarin kedua orang tuanya bertengkar. Bahkan papahnya sampai membentak ibunya cukup keras. Sebenarnya ada apa di keluarganya ini? Sikap mereka selalu saja aneh. Terutama papahnya yang memiliki sifat seperti bunglon.

Ah... memikirkan hal itu membuat kepala Ratu menjadi pening.

Ratu beranjak dari kasur. Keluar dari kamar dan turun dari kamar yang ia tempati saat ini di rumah Bian.

Entah Ratu tak tau kamar milik siapa itu. Ratu hanya dapat menebak jika kamar itu adalah kamar yang di peruntukan oleh tamu. Ia tak terlalu memusingkan kamar siapa yang ia tempati.

"Pagi, Tante!" Sapa Ratu kepada Andin saat tiba di lantai dasar.

Wanita paruh baya itu tersenyum. Menatap ratu teduh."Pagi juga, cantik. Udah bangun? Yuk sholat sama Tante!"

Ratu mengangguk, lagipula ini adalah kewajibannya yang harus dilakukan.

"Kita sholat di mushola rumah kan, Tante?" Tanya Ratu sembari berjalan berdampingan dengan Andin.

"Iya kita sholat di mushola rumah. Yuk buruan keburu waktu sholatnya habis."

Mereka tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan sholat subuh. Sekitar lima belas menit mereka selesai. Dan sekarang perempuan berbeda generasi itu sudah berkutat saja di dapur.

Ratu membantu Andin mencuci peralatan masak yang akan mereka gunakan untuk memasak sarapan pagi ini.

"Em...tante, Ratu tiga hari ini tinggal di sini boleh kan?"

Andin yang tengah memotong bawang dan cabai tersenyum mendengar pertanyaan Ratu. "Boleh dong, nak. Mau tinggal di sini sampai seumur hidup juga boleh kok."

"Waduh, kalau seumur hidup berasa jadi beban banget. Tiga hari aja sudah merasa Tante terbebani apalagi seumur hidup."

Sekali lagi Andin terkekeh. "Gak bakalan kok. Kan kamu tinggal seumur hidupnya sebagai menantu, Tante."

Entah kenapa sekarang tangan Ratu mulai gemetar. Bahkan pipi dirinya perlahan menghangat dan memunculkan semburat merah.

Ada apa si? Padahal perkataan Andin biasa saja. Kenapa reaksi tubuh Ratu seakan tengah digoda dengan laki-laki?

Hei...jangan salah, karena jika laki-laki menggoda tak akan pernah berarti jika orang tuanya yang sudah menggoda.

Jika kalian berada di posisi Ratu saat ini pasti kalian tengah salting dan tak bisa diam.

"Tante—"

"Eits, mamah. Don't call me aunty," peringat Andin.

"Ah, iya mamah Andin," ujar Ratu. "Mamah Andin jangan suka bikin salting anak orang pagi-pagi dong. Kan Ratu jadi seneng."

Andin terkekeh, merasa gemas dengan tingkah malu-malu Ratu."Loh kan mamah bilang apa adanya. Emang kamu gak mau jadi menantu Tante?"

Ratu menyelipkan rambutnya kebelakang telinga. Malu untuk berbicara."Iya kalau takdirnya Ratu berjodoh sama Bian ya mau, mah. Kalau gak nanti om Andra yang Ratu ambil."

My Innocent Boyfriend (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang