"Semua yang bernyawa pasti akan mati, nak."
Restu menghela nafas berat. Kepalanya yang tertunduk membuat helaian rambut hitamnya nampak berjatuhan. Kalimat yang tadi ibunya ucapkan selalu terngiang-ngiang di telinga Restu.
Setitik air mulai berjatuhan membasahi kelopak matanya. Diam-diam Restu menangis karena terpikirkan oleh kondisi ibunya yang semakin hari keadaannya semakin memburuk.
Di luar ruangan inap sang ibu, Restu duduk sendirian di bangku tunggu. Hampir menjelang pagi tapi tidak sedikit pun Restu berniat meninggalkan tempat itu yang membuat dirinya nyaman untuk merenung.
"Ya Tuhan..." ucap Restu lirih seraya mengusap pipinya yang basah. Ia menyugar rambutnya. Tiba-tiba pening menghantam kepalanya.
"Bunda mau pulang, nak." Lagi. Perkataan ibundanya tadi terus terngiang di telinganya hingga membuat telinganya berdengung dengan sendirinya.
Restu menutup telinganya menggunakan kedua tangan miliknya. Rasa sesak yang ia rasakan tidak ada artinya dibandingkan telinganya yang terus berdengung. Seberusaha apapun Restu untuk mengenyahkan pikiran negatifnya, tapi perkataan ibundanya yang selalu terngiang membuat Restu kembali sesak.
Sebelum beranjak dari tempat duduknya, Restu terlebih dahulu membenahi rambutnya yang berantakan. Mengelap pipi dan matanya yang tersisa jejak air mata.
"Lu gak boleh nangis, sialan! Dasar cengeng!" Cerca Restu untuk dirinya. Ia berkali-berkali mengelap air mata yang terus mendesaknya keluar.
Restu tidak boleh cengeng. Bagaimanapun ia harus siap menghadapi sesuatu yang akan terjadi untuk ke depannya.
Setelah menghibur batinnya-dengan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, Restu melangkahkan kakinya untuk kembali masuk ke ruang inap sang ibunda untuk menemaninya.
Mungkin istirahat beberapa jam di dalam akan membuat tenaganya sedikit kembali pulih.
●●●●
Setelah semalam menghabiskan bersenang-senang dengan Bian, pagi ini Ratu harus kembali pulang sesuai janjinya dengan Bian untuk menginap hanya sekedar tiga hari saja.
Namun, sebelum kembali ke rumah, Ratu akan berangkat ke sekolah terlebih dahulu dari rumah Bian. Baru nanti saat pulang, ia akan kembali ke rumahnya.
"Gak mau tinggal sehari lagi, Ratu?" Tanya Bian dengan harapan Ratu akan tinggal lebih lama lagi di rumahnya.
"Kapan-kapan Ratu bakalan nginep di sini lagi ya? Kan kita bisa ketemu waktu di sekolah."
Bian memasang wajah cemberut. Ia menggigit roti dengan isian selai strawberry itu dengan tidak bersemangat. Matanya menatap harap ke arah Ratu untuk tinggal lebih lama lagi.
"Gak usah sedih. Ratu gak akan kemana-mana, Bi." Itu suara papa Bian yang sedang menikmati kopi buatan sang mama sebelum berangkat ke kantor.
"Bian gak sedih kok, cuman nanti waktunya bareng Ratu jadi dikit," kata Bian sembari menatap Ratu. "Apalagi nanti kalau sudah mendekati ujian. Bian bakalan kangen banget sama Ratu karena waktu ketemunya kepotong buat belajar."
"Oh, iya! Ujian kan dua minggu lagi ya? Kok Ratu lupa ya?" Wajah bingung Ratu terlihat. Membuat Bian yang menatapnya sedikit mengerutkan keningnya bingung.
"Ratu lupa? Emang Ratu gak lihat tanggalan?"
"Selama ini tanggalan Ratukan isinya cuman kamu, Bi."
Uhuk...
Papa Bian yang tengah meminum kopi miliknya dibuat tersedak saat Ratu mengatakan hal itu dengan spontan. Bahkan mama Bian yang tengah memoles roti dengan selai strawberry dibuat terpaku menatap gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Innocent Boyfriend (ON GOING)
Romance[Genre : romance, komedi] Ini hanyalah kisah seperti umumnya dimana seorang laki-laki yang beruntung bertemu dan memiliki perempuan secantik pacarnya. Ketika mereka di permukaan untuk melengkapi bukan mem-bebani. Selain itu kalian juga akan di hibur...