49 | Time
.
.
.
.
.Perlahan Alfan melepas rengkuhannya. Lalu menatap wajah Sarah sambil mengusap air mata gadis itu dengan gerakan pelan. Kini tangannya berpindah ke bahu Sarah. Keduanya saling menatap.
"Jangan simpan harapan ke gue, Sar. Gue enggak mau nyakitin lo lebih jauh lagi. Saat ini gue butuh waktu. Gue mau selesaiin masalah gue dulu. Gue mau sembuhin diri gue dulu, Sar."
Sarah menatap bingung.
"Gue enggak mau ngerasa sakit dan teringat masalah-masalah gue setiap kali liat lo. Gue enggak mau terbayang wajah nyokap lo dan membuat gue merasa bersalah lagi. Gue enggak mau nyeret lo dalam masalah gue. Gue enggak mau egois."
Sarah menatap tak percaya. Ia masih tidak paham kemana arah pembicaraan Alfan. Bukankah sekarang semuanya sudah jelas? Perasaannya. Perasaan Alfan. Tapi kenapa sekarang Alfan ingin menyerah?
"Lo juga butuh waktu buat menata semuanya. Lo harus sembuhin luka lo. Jangan gantungin kebahagiaan ke gue disaat diri gue sendiri belum bisa nyelesaiin masalah gue. Gue butuh waktu, lo butuh waktu, kita butuh waktu, Sar." Ujar Alfan dengan suara bergetar.
"Alfan..." Sarah menatap pilu. Ia merasakan nyeri luar biasa di hatinya saat mendengar penuturan Alfan. "Kita berhenti ya? Berhenti nyakitin diri sendiri, berhenti boongin diri sendiri. Kita saling menguatkan satu sama lain."
"Iya, kita berhenti ya. Tapi ...." Alfan menatap Sarah lekat.
"Kita sembuhin luka masing-masing dulu. Sekarang bukan saatnya bersama. Gue mau merealisasikan mimpi-mimpi gue sama lo. Tapi enggak sekarang. Bukan di waktu yang sama-sama rapuh kayak gini."
Sarah menggeleng pelan. Bukan ini maksudnya. Bukan berhenti yang seperti ini yang Sarah inginkan. Sarah ingin Alfan berhenti dari penyamarannya. Sarah ingin mereka berhenti untuk saling menutupi perasaan masing-masing. Dan berhenti untuk mengungkit masalah keluarga mereka. Bukan berhenti seperti maksud Alfan.
Alfan mengusap lembut pipi Sarah. "Gue enggak mau lo sembuhin luka gue. Dan gue pun enggak akan berusaha nyembuhin luka lo. Gue mau kita bangkit di atas kaki sendiri. Gue mau kita berdamai dulu sama diri sendiri. Gimana kita mau saling menguatkan kalo diri kita sendiri aja masih lemah? Jadi, kita selesaiin dulu satu-satu ya."
Sarah menggeleng tak terima. Sarah sekarang tahu arti ucapan Alfan. Pria itu menyuruh Sarah untuk melepaskannya sebagaimana Alfan pun berusaha untuk melepaskannya. Alfan ingin memberi jeda pada mereka untuk menata hati masing-masing.
Tapi Sarah belum siap kehilangan. Kenapa pula Alfan memintanya untuk berhenti disaat hubungan merekapun belum dimulai sama sekali.
"Kenapa, Fan? Kenapa lo menyerah disaat kita udah sampai di titik ini?"
"Gue enggak nyerah, Sar. Gue justru mau melepas lo, demi lo. Gue sadar semua cerita ini ujungnya masih buntu, dan gue enggak sanggup memberi lo kepastian. Gue mau lo bahagia karena diri lo sendiri, bukan dengan bergantung sama gue. Dan gitu sebaliknya. Nanti, kalo semuanya udah selesai, gue yang bakal nyamperin lo. Gue engga bakal sembunyi lagi, gue engga bakal pengecut lagi."
Sarah melepas genggamannya. "Kita bisa saling bantu selesaiin semua masalah. Lo bisa berbagi rasa sakit lo ke gue. Mulai sekarang kita bisa berjuang bersama, kita selesaiin bareng-bareng."
"No. Gue engga mau bergantung sama lo, Sar. Gue takut... Gue takut, ketika gue kuat karena selalu ada lo di sisi gue, dan ternyata suatu saat nanti kita ga berakhir sama-sama, gue akan jauh lebih sakit. Lo tahu selama ini gue bahagia karena gue menyimpan harapan besar sama nyokap. Dan disaat orang yang gue jadiin tempat bergantung akhirnya khianatin gue, gue hancur, Sar." Alfan menelan salivanya sejenak.
"Karena itu gue engga mau bergantung sama lo, karena gue belum siap jika suatu saat lo yang pergi. Tunggu sampe kita sama-sama sembuh dan gue bisa bahagiain lo tanpa memikirkan masalah apapun."
Untuk kesekian kali air mata Sarah menetes. Meski berat, meski sakit, meski sulit untuknya, keputusan Alfan ada benarnya. Bersama saat ini hanya akan saling menyakiti selama masalah mereka belum selesai.
Sarah akhirnya mengangguk. Meski mereka akan saling melepaskan, tapi mereka tidak akan berhenti saling menyayangi.
Alfan menunduk dengan tatapan kosong. "Gue engga ngerti kenapa semua ini harus terjadi sama keluarga kita? Dari sekian banyak orang di dunia, kenapa harus bersinggungan sama keluarga lo, Sar?"
Sarah meraih tangan Alfan, menggenggam tangan Alfan sekaligus membawa tatapan Alfan menuju matanya.
"Ga ada yang meminta ini, Fan. Semua ini bukan salah siapa-siapa. Kalo ada kucing tertimpa batang pohon, itu bukan salah pohonnya. Tapi ... Kucingnya juga engga salah. Memang udah takdirnya kucing lewat pohon itu, dan udah takdirnya pohon rubuh di waktu bersamaan. Jadi, berhenti menyalahkan siapapun, ya, Fan."
Alfan terenyuh. Berusaha menyunggingkan senyum meski terlihat memilukan. "Gimana sama lo? Lo sendiri masih benci sama nyokap lo?"
Sarah terdiam sesaat. "Gue enggak benci. Gue kecewa, tapi mau gimana lagi? Perasaan benci justru bakal lebih menyiksa diri gue sendiri."
"Terus gimana caranya biar gue ngga benci lagi, Sar? Gue ... Gue sakit setiap kali keinget kesalahan nyokap gue."
"Lo sendiri yang bilang don't judge a book by the prolog. Kita perlu membaca buku sampai tamat untuk tau keseluruhan cerita, baru kita bisa menilai kan? Jangan men-judge buku, apalagi saat kita ga tau endingnya seperti apa. Jadi, jangan men-judge bokap lo, bokap Dion, nyokap gue, ataupun nyokap lo. Semua ingin menyelamatkan perasaan mereka masing-masing."
Sarah mengusap bahu Alfan, "Semua orang egois, Fan. Elo, gue, nyokap gue, nyokap lo, bahkan Alfi. Semua menutupi perasaan masing-masing demi menjaga perasaan orang lain."
Alfan mematung. Kemudian berujar pelan, "Maaf."
"Pulang, ya, Fan. Berhenti menyalahkan siapapun." Sarah menggenggam tangan Alfan lebih kuat sebelum melepaskannya. Lantas ia berdiri. Menatap Alfan sekali lagi, lalu berbalik meninggalkan tempat itu dengan berderai air mata.
Alfan menyaksikan punggung itu menghilang. Menyisakan dirinya seorang disertai semilir angin yang menusuk. Seluruh hatinya telah dibawa pergi dan kini Alfan dilanda kehampaan. Kehampaan yang justru mendatangkan rasa sakit luar biasa.
Sarah benar, semua orang egois.
💧💧💧💧
Kesan kalian untuk chapter ini 🥺💔
Pesan yang mau kalian sampein buat Sarah/Alfan
Kalian tim happy ending/sad ending?
Artis yang cocok buat meranin si kembar sama Sarah menurut kalian siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR [END] ✓
Teen FictionSeumur hidup Sarah mencium aroma asing yang menenangkan ini, ia baru tahu jika aroma tanah basah yang muncul saat hujan turun ternyata punya nama. Namanya Petrichor. Ia masih tak menyangka jika harus mendengar hal unik ini dari pria di hadapannya. S...