50. Take & Give

5.2K 806 288
                                    

50 | Take & Give
.
.
.
.

Bukannya Alfan egois dengan memilih keputusan berdasarkan keinginannya saja tanpa memikirkan perasaan Sarah. Namun, Alfan pikir pilihannya untuk merelakan Sarah adalah keputusan terbaik, meski keputusannya harus menyakiti gadis itu lagi.

Alfan tidak ingin mengekang gadis itu dengan kondisinya yang seperti ini, ia pastinya akan merasa sesak setiap kali teringat masalah yang tak kunjung usai. Maka setelah memikirkan banyak hal selama beberapa hari ini, Alfan memutuskan keluar dari kosan Bobi.

Hari ini Alfan pergi untuk menemui seseorang. Tapi rasanya bertemu dengan seseorang ini membuatnya canggung. Alfan ragu apakah orang ini akan menerimanya atau tidak?

Sudah hampir dua minggu dari hari ia bertemu dengan Sarah. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bertemu dengan gadis itu. Sudah beberapa kali Alfan datang ke kampus namun ia tak melihat sosok Sarah. Meski bertemu dengan Sarah akan membuatnya sesak kembali, tapi ada kekhawatiran yang menggerogotinya saat gadis itu tidak ada.

Ternyata Sarah benar-benar menjauh.

Alfan hanya bisa berdoa agar Sarah cepat 'sembuh' dan bisa bahagia tanpa melibatkan orang baru. Dan usaha itulah yang sedang ia lakukan untuk dirinya sendiri.

Alfan duduk di ruang tunggu. Hari ini, ia memberanikan diri untuk datang ke kantor ayahnya. Sudah lama sekali Alfan tidak menginjakkan kaki di gedung ini. Terakhir kali saat usianya sepuluh tahun dan kondisi keluarga mereka masih baik-baik saja.

"Maaf, ada perlu apa dengan pak Yuda? Sudah buat janji?" Tanya seorang resepsionis setelah beberapa saat lalu Alfan meminta untuk bertemu dengan Yuda.

Alfan terdiam. Rasanya menggunakan kata 'ayah' untuk saat ini terlihat meragukan. Jika ia jujur, apa mungkin ayahnya bersedia bertemu dengannya?

"Saya belum buat janji dengan pak Yuda. Tapi tolong sampaikan kalau keluarganya ingin bertemu."

Resepsionis itu mengangguk. Lantas berjalan menghampiri meja untuk membuat panggilan telepon yang terhubung langsung dengan ayahnya. Begitu cepat, telepon itu ditutup, resepsionis tersebut kembali tersenyum.

"Anda diminta datang langsung ke ruangannya. Mari saya antar."

Alfan menarik napas, menggigit bibir sekilas, lalu berjalan mengikuti sang resepsionis.

Begitu sampai di depan ruangan, resepsionis itu membukakan pintu dan mempersilakan Alfan masuk. Alfan balas tersenyum canggung sebagai ucapan terimakasih. Pelan-pelan Alfan masuk ke dalam ruangan.

Pria berusia empat puluhan lebih itu berdiri menghadap jendela besar dengan tangan bertaut di saku celana, dia tengah memunggungi Alfan. Pria paruh baya itu tetap diam menghadap jendela meski ia sudah sadar kehadiran seseorang di ruangannya. Alfan hanya bisa berdiri menunggu sambil memandangi sosok itu.

"Alfan." Panggil Yuda pelan.

Alfan terkesiap. Ia tak menyangka jika pria itu mengenali kehadirannya dengan cepat, padahal ayahnya belum menoleh ke belakang.

Perlahan pria itu berbalik. Sesuatu yang tidak pernah Alfan sangka-sangka karena kini ayahnya tengah melemparkan senyum. Alfan hanya terdiam di tempat dengan perasaan canggung dan serba salah. Yuda berjalan mendekat dan tanpa Alfan duga, pria itu memeluknya.

Dan saat itu Alfan sudah meneteskan air mata.

💧💧💧💧


Keduanya kini menatap ke arah jendela dengan pikiran masing-masing. Alfan kembali terdiam kikuk. Hampir sepuluh tahun Alfan tak bicara dengan ayahnya. Apalagi saat keluarganya masih baik-baik saja, hubungannya dengan sang ayah tidak terlalu dekat. Sekarang Alfan kesulitan memulai pembicaraan.

PETRICHOR [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang