51. Tamu spesial

4.9K 746 354
                                    

51 | Tamu spesial
.
.
.
.

Alfan berjalan keluar dari ruangan ayahnya dengan perasaan lega dan bahagia. Belum pernah sepanjang hidupnya ia merasa sebahagia ini. Akhirnya kesalahpahaman yang tak kunjung ada titik terangnya kini telah tuntas. Hubungannya dengan sang ayah bahkan jauh lebih baik dari yang ia harapkan.

Sepanjang jalan menuju lift bahkan ketika berada di dalam lift, Alfan tak henti-hentinya tersenyum. Sampai lift berhenti di lantai paling bawah, pria itu masih sumringah. Alfan berjalan keluar sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku. Pria itu tidak sadar telah menjadi pusat perhatian karena senyum-senyum sendiri.

Saat Alfan tinggal beberapa langkah menuju pintu keluar, seseorang langsung menghampiri Alfan. Pandangan Alfan langsung tertuju ke depan, ekpresinya yang semula sumringah perlahan berubah biasa saja. Matanya menatap Alfi yang berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan.

💧💧💧💧

"Gue denger semuanya," kata Alfi.

Kepala Alfan yang semula tertunduk langsung terangkat. Ia segera menoleh ke arah Alfi yang duduk di sebelahnya dengan tatapan lurus. Saat ini mereka sudah duduk di taman belakang kantor Yuda.

"Gue engga pernah tau tentang apa yang baru aja diceritain ayah ke lo," imbuh Alfi kemudian terdengar helaan napas berat.

Alfan masih menatap ke arah Alfi. Ia bingung harus merespon apa hingga yang ia lakukan hanyalah menunggu kembarannya itu kembali bicara.

"Gue ga pernah tau kalo selama ini nyokap yang banyak berkorban perasaan." Mata Alfi menerawang.

"Jangan bilang lo merasa bersalah. Gue juga sama salahnya. Kalo ditanya siapa yang paling salah? Kita semua sama-sama salah. Kita semua egois. Elo egois, gue egois, nyokap sama bokap juga sama." Balas Alfan, ia pun kini merasa jadi orang paling berdosa.

Lalu Alfi menoleh, ia membalas tatapan Alfan sebelum kembali bicara. "Sarah bener, enggak ada yang bisa disalahin. Bokap sama nyokap selalu ga adil sama kita bukan karena ga sayang. Tapi mereka cuma melampiaskan kemarahan."

Alfan mengangkat alis begitu nama Sarah disebut. Setelah itu Alfan kembali memasang ekspresi datar. "Sarah pernah bilang kalo pelakor itu engga ada. Bisa jadi alasan bokap selingkuh itu gara-gara hubungan rumah tangga yang lemah. Dulu gue marah waktu dia ngomong gitu, sekarang gue paham apa maksud dia." Alfan tersenyum ketika mengingat Sarah.


Alfi mengangguk, ia setuju hal itu. Begitu menoleh Alfi mendapati Alfan masih senyum-senyum sendiri.

"Udah lo tembak?" Alfi tiba-tiba bertanya.

Mendengar itu seketika senyum Alfan hilang, berganti dengan ekspresi salah tingkah. "Uhm, dia yang nembak gue."

"Gila lo? Kok bisa?" Alfi seketika tersedak salivanya sendiri. Refleks pria itu memukul Alfan.

Bukannya menjawab, Alfan justru balik memiting leher Alfi, membalas pukulannya. Sesaat keduanya terdiam, beberapa detik kemudian keduanya malah saling tertawa. Sudah lama sekali mereka tidak sedekat ini. Dan tingkah Alfan barusan meruntuhkan benteng yang selama ini menghalangi mereka.

"Gue yang pengecut," Ujar alfan.

"Payah lo."

"Gue kira Sarah suka sama lo. Makanya gue selalu nyamar jadi lo biar bisa deketin dia. Ya meski niat awalnya bukan itu."

PETRICHOR [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang