53 | 1996
.
.
.
.
Gadis itu menutup laptop secara paksa lalu menyambar tas untuk segera bergegas menuju toilet. Langkah cepat gadis itu terus membawanya menjauh dari kerumunan kafe hingga masuk ke dalam toilet dan berdiri di hadapan cermin."Gimana gue mau bantu dia, baru liat mukanya aja udah malesin. Dia yang enggak mau ketemu sama gue! Dia enggak butuh gue!"
Fia membanting tas ke atas wastafel begitu suara-suara dalam kepalanya saling bersahutan. Kilatan kejadian saat ia bertengkar dengan Tommy seketika memenuhi pikirannya. Fia memutar keran dengan gerakan cepat, lalu membasuh wajahnya sendiri dengan kasar. Berharap agar pikiran buruk itu segera hilang.
"Harusnya kalo dia butuh bantuan, dia hubungin gue dong. Dia cerita sama gue! Bukan malah hubungin pacar gue."
Suara-suara itu semakin kencang. Fia merasa dihantui oleh ucapannya sendiri.
Semua gara-gara pembicaraan di kafe. Dia tidak mungkin salah mengenali ketiga pria di dalam kafe tadi. Mereka pasti Alfan dan Alfi yang pernah Sarah ceritakan. Jika memang benar, mereka baru saja membahas tentang Sarah dan ibunya yang kini menjadi ibu dari salah satu pria tadi.
Apa karena masalah ini Tommy mati-matian membela Sarah? Bahkan rela melakukan apapun demi membantu gadis itu meski harus mengakhiri hubungannya sekalipun.
"Sarah lagi down, harusnya elo yang ngertiin dia. Itukan fungsinya sahabat?"
Kilas balik perkataan Tommy kini menamparnya telak. Bayangan Tommy yang membentaknya dan menyebutnya kekanak-kanakan terbayang jelas. Wajah marah Tommy kala Fia tak juga mengerti kondisi Sarah. Serta perkataan Tommy saat memilih mengantar Sarah pulang dibanding mengejarnya.
Seharusnya, ia tidak gelap mata.
"Aaarrgh...."
Fia mengerang, menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. Ia tatap dalam-dalam pantulan dirinya dalam cermin. Rambutnya berantakan. Matanya merah. Siluet pemandangan dirinya tampak mengerikan.
Fia benci melihat pantulan dirinya sendiri.
Tatapan Fia turun, gadis itu menatap keran dengan pandangan kosong. Saat ini di kepalanya terbayang mata Sarah yang memancar kesedihan juga kekecewaan. Bagaimana gadis itu berusaha membujuknya untuk bicara meski ia tetap saja tak peduli. Saat itu Fia hanya bisa memandanginya dengan tatapan benci.
"Harusnya dia hargain gue sebagai sahabatnya dan sebagai pacar lo. Kalau dia sadar diri, harusnya dia jaga jarak sama elo."
Fia tertegun. Sekarang baru ia rasakan seberapa buruk perbuatannya sendiri. Fia tak percaya ia berani mengatakan hal sejahat itu pada Sarah.
Seandainya sejak awal Sarah cerita tentang masalah keluarganya, juga tentang perasaan gadis itu yang sesungguhnya, Fia pasti tidak akan cemburu buta seperti ini.
"Gue enggak bermaksud untuk enggak cerita sama lo. Gue butuh waktu untuk cerita sama siapapun."
Kepalan tangan Fia mengeras. Ia tatap cermin dihadapannya dengan perasaan benci dan perasaan bersalah yang menggerogoti akal sehatnya.
Ternyata...
Dia keliru selama ini.
💧💧💧💧
Selama ini Sarah tidak pernah cerita pada keluarganya jika ia sakit atau kesulitan. Gadis itu memilih menyelesaikan masalahnya sendiri karena tidak ingin membuat ayahnya khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR [END] ✓
Dla nastolatkówSeumur hidup Sarah mencium aroma asing yang menenangkan ini, ia baru tahu jika aroma tanah basah yang muncul saat hujan turun ternyata punya nama. Namanya Petrichor. Ia masih tak menyangka jika harus mendengar hal unik ini dari pria di hadapannya. S...