16. Sudahi Sedih

6.1K 944 418
                                    

16 | Sudahi Sedih
.
.
.
.
.


"Eh udah selesai belajarnya? Pulangnya di anterin Alfan aja."

Sarah langsung tersentak. "Ga usah Tante, Sarah pulang sendiri aja, gak papa. nanti tinggal pesen ojol."

"Udah di anterin aja biar aman. Malem-malem gini ga enak juga kalo pesen ojol. Tante ga enak sama kamu, udah disuruh dateng malem-malem masa pulangnya sendirian." Pandangan Tante Rena beralih pada Alfan yang kebetulan melintas sambil membawa gelas.

"Alfan cepetan anterin dulu Sarah, masa anak gadis disuruh pulang malem malem sendirian. Kamu sama temen kok gitu, bukannya di ajak ngobrol kek."

Alfan menghentikan langkahnya. Ia tampak kikuk namun responnya diam saja. Sarah kira Alfan akan langsung berteriak protes seperti yang biasa dilakukannya.

Ternyata pria itu seperti bunglon yang dapat berubah-ubah sikap dengan cepat. Entah sikapnya terhadap Sarah atau sikapnya pada orang lain yang menunjukkan sifat aslinya.

"Ga usah Tante, gapapa. Insyaallah aman kok Tante. Saya biasa pulang sendiri kok. Nanti saya pulangnya lewat jalan rame--"

"Ayo cepetan ntar keburu malem." Dengan cepat Alfan memotong ucapannya. 

"Tuh ayo, Alfannya udah siap."

Sarah mengerjap kaget. Bingung dengan sikap Alfan. Dia sebenarnya ikhlas atau tidak mengantar Sarah pulang? Atau ia hanya menuruti perintah mamanya saja.

"MAUUU IKUUUT." Suara cempreng bin fals itu berasal dari lantai dua.

Alfan sontak melotot, " ish apaan sih, enggak enggak. Ga ada ikut-ikutan. Kamu tidur aja udah malem. Udah lewat jam tidur kamu."

"Ih pokoknya mau ikuuut." Teriak Dion sambil berlari menyusul keduanya.

"Ga ada. Mana badan kamu segede gaban gitu, ntar malah ketiduran di stang lagi. Berat nanti bawa motornya."

"Tinggal duduk di tengah aja, apa susahnya. Yu kak Sarah, kita duluan ke motor."

Usulan itu justru semakin membuat Alfan jengkel.

Bisa ga sih tuh anak ga usah ngerusak momen?! Pikirnya.

Sarah justru tersenyum. Ia akhirnya tidak terjebak perang dingin karena ada Dion di antara mereka.

Sepanjang perjalanan hanya Dion yang terus nyerocos seperti kereta api. Sarah hanya menanggapinya dengan senyuman. Sedangkan Alfan lebih banyak mengomel untuk menghentikan tingkah adiknya.

Hingga di tengah perjalanan Dion akhirnya tertidur. Mungkin kelelahan karena terlalu banyak bicara.

Alfan segera menghentikan motornya untuk melepas jaket kemudian mengikatkan tubuh Dion dan tubuhnya. Hal itu ia lakukan agar Dion tidak terjatuh.

Sarah sempat tertegun melihat aksi Alfan yang menurutnya gantleman.

Motor itu kembali melaju membelah jalan Jakarta. Keduanya saling diam menikmati pemandangan kota yang tampak berwarna-warni karena kerlip lampu kendaraan.

Motor mereka tiba di gerbang indekos putri setelah dua puluh menit perjalanan. Alfan tidak bisa mengantar lebih jauh lagi, karena gerbang ini merupakan batas area khusus wanita.

Sarah menyerahkan helm dengan mulut terkunci. Diam dan tidak banyak bicara sepertinya jauh lebih aman dari pada basa-basi berujung menyulut emosi. Pria ini selalu tidak santai jika berbicara dengannya.

"Makasih." Ucap Sarah singkat lalu berbalik untuk membuka gerbang.

"Sarah." Panggil Alfan yang terdengar dingin dan menuntut, menandakan Alfan sedang ada di mode seriusnya. Untuk beberapa saat yang bisa Sarah lakukan hanya diam.

"Bisa ngobrol sebentar?" Permintaan Alfan seketika membuat Sarah meremang. Nada bicara pria itu tidak cengengesan seperti biasa.

Akhirnya Sarah berbalik kemudian menemukan ekspresi Alfan yang tampak berbeda. Matanya yang tajam membuat Sarah merasa terintimidasi.

Alfan menarik nafas panjang kemudian berbicara dengan nada normal tanpa emosi.

"Gue tau selama ini lo kesel banget sama gue. Gue juga tau sebarapa banyak pertanyaan lo tentang gue dan Alfi. Tapi kali ini gue minta sama lo, tolong percaya sama gue.  Jangan pernah lo menanyakan apapun tentang hubungan keluarga gue. Apapun yang Alfi ceritain ke lo, gue harap lo tetep percaya sama gue, Sar." Sarah menatap Alfan yang kini tengah menatapnya juga.

Kenapa pembicaraan ini aneh sekali. Apa jangan-jangan Alfan menguping pembicaraannya dengan Dion saat belajar?

Sorot mata Alfan jelas menggambarkan luka yang mendalam. Apapun itu, Sarah menduga Alfan sedang menanggung beban berat.

Entah mengapa, Sarah merasa takut dengan setting wajah Alfan ketika sedang rapuh. Sarah lebih suka melihat Alfan yang menyebalkan dibandingkan menatapnya dengan ekspresi serius seperti ini.

"Kenapa?" Hanya itu yang mampu Sarah ucapkan.

Niat ingin membentak pria dihadapannya gagal. Sorot mata tajam itu jelas-jelas menunjukan betapa rapuhnya pria ini.

Ada yang menyeruak dalam hatinya. Entah mengapa untuk pertama kali ia begitu kasihan melihat Alfan.

"Karena apa yang Lo tahu, belum tentu sesuai dengan yang Lo pikirkan."

Sarah hanya mengangguk dan membalikan badan untuk membuka pagar. Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepalanya. Tapi Sarah pikir ia tidak perlu bertanya lebih jauh lagi. Karena itu akan memancing Alfan untuk semakin melarangnya.

Setelah masuk area indekosnya. Langkah Sarah kembali terhenti.

"Tentang puisi Lo. Boleh gue tanya sesuatu?"

Sarah kembali membalikan badan. Menatap Alfan dari balik pagar dengan perasaan cemas.

"Waktu pertama kali gue nelpon Lo, siapa yang angkat teleponnya? Di handphone Lo namanya bunda."

Sarah terdiam sejenak. Ia merasa bingung kenapa hari ini Alfan berbicara sangat random.

"Oh itu. Itu bunda Rita, ibu kosan gue. Anak-anak emang biasa manggil bunda. Kenapa emangnya?"

Alfan terdiam. Matanya beralih menatap jalan. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Aah i see. Pantes aja isi puisinya dalem banget dan menggambarkan kalo Lo lagi kehilangan. Semoga lo cepet ketemu sama beliau ya." Kemudian Alfan menancapkan gas lalu pergi tanpa perlu menjelaskannya lagi.

Sedangkan Sarah masih berdiri dengan perasaan kalut.

Percakapan ini benar-benar ganjil. Mengapa Alfan terlihat begitu anomali setelah membahas puisinya. Kenapa dia bisa tau jika puisi yang ia tulis menceritakan tentang kehilangan? Dan kenapa ia bisa menebak bahwa puisi itu menggambarkan keadaan dirinya?

Sarah merasa Alfan terlalu banyak tahu tentang dirinya. Sedangkan Alfan justru meminta Sarah untuk tidak tahu lebih banyak lagi tentang kehidupannya.

Siapa sebenarnya kamu, Alfan Aditya?

💧💧💧




-Sudahi sedih-

Jauh, riuh, dan tak tersentuh
Buram, kelam, dan menghilang
Mungkinkah hitam?

Atau masih abu-abu?
Antara benci dan rindu

Kita bukan anak dan ibu
Tapi bagian terpisah yang tetap satu

Gelap yang mengiringi langkah
Nyatanya masih tetap ada

Harus ku cari kemana?

Mama

PETRICHOR [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang