55. Intuition

5.3K 775 274
                                    

55 |Intuition
.
.
.
.


Langkah Sarah terhenti begitu melihat bayangan seseorang berdiri lima langkah dari tempatnya. Mata sayu dan bibir pucat bukanlah perpaduan yang cocok untuk seorang Fia yang biasa datang mengunjungi kosan Sarah. Dari penampilannya yang sedikit berantakan, Sarah tau jika Fia sudah menunggunya sejak lama.

"Fia?" Gumam Sarah pelan, tak yakin apakah Fia datang kemari dengan maksud baik atau sebaliknya. "Lo kenapa bisa di sini?"

Persis Sarah mengakhiri kalimatnya, tubuh gadis itu sudah dalam dekapan Fia. "Gue kangen sama lo."

Alis Sarah terangkat, disusul sudut bibirnya yang perlahan ikut naik. Sarah masih tidak berkata apa-apa sampai ia mendengar isakan kecil di telinganya.

"Sar, maafin gue ya. Gue udah keterlaluan sama lo."

Sarah mengerjap kaget. Tangannya yang kaku mulai bergerak naik untuk mengusap-usap punggung Fia. "Udah berapa jam lo nunggu di sini?"

"Sorry gue udah kelewatan. Lo boleh marah sama gue, lo boleh maki-maki gue sekarang juga. Gue lebih suka liat lo marah-marah dari pada lo ninggalin gue tiba-tiba." Fia melepas pelukannya sambil menghapus jejak air mata.

Sarah pura-pura bingung. "Marah kenapa? Gara-gara lo datang ke sini ga bawa makanan? Padahal gue laper banget."

"Serius ih. Gue nungguin lo dari siang tau! Pas gue denger lo balik ke Jakarta, gue langsung ke sini, eh taunya lo malah pergi lagi. Gue kira lo ga mau ketemu gue lagi."

Sarah terkekeh.

"Iiish, kok lo malah ketawa sih. Gue malu nih. Bego banget gue udah bikin drama ga jelas waktu itu."

"Lo mau nasi goreng pake kecap atau engga?"

"Kenapa?"

"Ya soalnya lo engga suka pake kecap kan?"

"Kenapa lo engga marah sama gue?"

Sarah memalingkan wajah. Membuka kenop pintu lalu berjalan menuju kamarnya. "Mau gue yang bikin atau lo yang bikin? Tapi buatan lo lebih enak dari punya gue sih, gimana?"

Hati Fia mencelos. Dalam keadaan seperti ini saja, Sarah masih bisa memasang ekspresi baik-baik saja. Fia jadi merasa sangat bersalah.

"Dasar gila." Fia akhirnya terkekeh begitu Sarah menyuruhnya membuat nasi goreng dengan bahasa yang diperhalus. "Tapi, Sar-"

Tubuh Sarah berbalik, lalu gadis itu tersenyum lebar menampilkan gigi putihnya. "Gue juga kangen sama lo. Malam ini lo ga usah pulang ya, gue mau cerita panjang sama lo."

💧💧💧


Lantunan lagu Frankie Valli memenuhi setiap penjuru kamar. Jari-jari kekar itu tampak menari-nari di atas keyboard laptop. Begitu aroma petrichor menyengat indra penciumannya, jari-jari itu berhenti bergerak.

Alfan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Pria itu menjeda naskah novelnya begitu rintik hujan mulai membasahi kaca jendela. Alfan menatap rintik hujan dengan pandangan kosong. Disertai lirik lagu Frankie Valli yang menemaninya, membuat pikiran Alfan terlempar ke masa saat ia pertama kali bertemu dengan gadis itu.

Kenapa pula hari itu ia harus mengalami kejadian apes yang menyebabkan motornya masuk bengkel. Bagaimana bisa di waktu yang sama, Bobi justru tidak bisa menjemputnya sehingga Alfan terpaksa naik bus yang melintas di dekatnya. Gara-gara itu, kenapa pula ia malah mengejar bus yang satu itu bukannya menunggu bus lain sehingga dia harus bertemu Sarah.

PETRICHOR [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang