48. Pengakuan

5.3K 834 220
                                    

48 |Pengakuan
.
.
.
.

Suara hentakan kaki menggema disepanjang undakan anak tangga. Beberapa pasang mata menatap aneh ke arah seorang gadis yang bebas berkeliaran di dalam kosan putera. Sarah tak ambil pusing, gadis itu terus berjalan cepat menaiki tangga menuju lantai teratas.

Begitu sampai di depan pintu rooftop, Sarah terdiam. Sarah mengumpulkan kekuatan agar tidak menangis saat bertemu pria itu. Lantas ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu dengan perlahan.

Mata Sarah menyapu seluruh penjuru rooftop. Rooftop kosan Bobi di sulap menjadi tempat jemuran. Bak beton yang membentang luas hanya berisi tiang jemuran dan tangki air. Saat itulah Sarah melihat sosok yang duduk bersandar di tangki air sambil memeluk lutut. Kepalanya terbenam diantara kedua tangan. Sosok itu tak berkutik, hanya rambutnya yang bergerak tertiup angin. Dengan hati-hati Sarah mendekat.

"Fan...." panggil Sarah lirih.

Pria itu langsung menegakkan kepala. Keduanya terkejut dalam tatapan satu sama lain. Seolah dapat membaca seluruh isi hati yang dipenuhi kerinduan meski keduanya masih saling membisu. Hingga mata keduanya pelan-pelan buram diterjang air mata yang ingin berjatuhan.

Sarah menggigit bibir berusaha tidak menangis saat ia melihat sosok Alfan yang kacau. Miris, penampilan pria itu tidak jauh berbeda dengannya. Lingkar matanya menghitam memperlihatkan sudah beberapa hari pria itu tidak tidur. Sarah yakin Alfan juga menilai dirinya sama kacaunya.

"Kenapa harus sembunyi?" tanya Sarah parau.

Air mata Alfan menetes mengenai pelupuk mata. Ingin rasanya Alfan menumpahkan semua perasaan yang mengungkungnya, tapi bibirnya tidak bisa berkompromi.

Sarah menelan ludah, berusaha sekuat tenaga untuk bicara,"Gue udah tau soal orang tua lo."

Alfan menunduk. Masih terdiam.

Sarah berjalan mendekat hingga mereka hanya berjarak satu langkah. "Gue juga udah ketemu sama nyokap gue, Fan."

Alfan mendongak dengan tatapan tegang. Seperti ada sesuatu yang menyengat hatinya.

"Dan gue juga udah tau tentang penyamaran lo. Gue tau semuanya." Kali ini Sarah bisa melihat dengan jelas raut terkejut Alfan. Baik Sarah maupun Alfan, kini mereka sama-sama melebur.

Sarah menarik napas panjang. Susah payah ia menahan agar air matanya tidak terjatuh, tapi sekuat apapun ia membendung air matanya, sesuatu itu tetap keluar. Dengan suara lirih Sarah berujar, "Gue benci sama lo, Alfan. Bahkan sampe sekarang gue masih ngerasa sakit setiap liat lo."

Ucapan Sarah terdengar dingin dan menusuk. Alfan menutup matanya dengan telapak tangan. Sesuatu yang sudah ia tutupi dengan hati-hati akhirnya terbongkar. Ternyata memang benar, kebenaran selalu punya cara untuk keluar.

Alfan sudah mewanti-wanti jika seandainya rencananya terbongkar, tapi tetap saja kenyataan itu lebih sakit dari dugaannya. Alfan bisa membayangkan betapa kecewanya Sarah pada pria yang sudah menipunya.

"Gue benci lo karena lo lemah. Lo terus sembunyi dari gue. Lo bohongin gue, bohongin semua orang. Tapi yang paling gue benci, lo udah membohongi diri lo sendiri." Suara itu dingin dan mengintimidasi.

"Coba lo tatap mata gue! Bilang kalo lo juga benci sama gue!"

Alfan terdiam. Entah kenapa rasanya sulit sekali mengeluarkan sepatah katapun di hadapan Sarah.

"Lo selalu bilang kalo lo benci sama gue! Lo selalu pengen gue jauh dari sisi lo. Tapi nyatanya apa? Bahkan diri lo sendiri ga bisa lari dari perasaan lo."

Suara itu kini berubah menjadi lebih kencang. "Bilang ke gue kalo lo benci gue! Jangan buat gue bingung. Jangan buat gue susah melepas lo, Fan." Sarah berteriak frustasi. Pandangan Sarah semakin buram oleh air mata. Dadanya semakin sesak melihat Alfan tengah berlutut di hadapannya. Terlihat sangat rapuh dan tak berdaya.

"Kenapa diem aja?! Kalo lo ga bisa bilang benci, sekarang lo bilang kalo lo suka sama gue!"

Alfan justru terisak. Air mata Sarah kembali berjatuhan saat Alfan lagi-lagi bertindak membingungkan. Apa susahnya mengikuti salah satu perintah Sarah? Alfan masih saja selemah itu.

"Mau lo apa, Fan? Lo mau main-main sama perasaan?"

Sarah memalingkan wajah sambil menutup mulut. Membiarkan air matanya mengucur deras. Di tengah tangisan yang begitu pilu, akhirnya ia mendengar Alfan bicara.

"Bukan ... Bukan maksud gue untuk bohongin lo. Bukan karena gue enggak suka lo. Tapi..."

Sarah menunduk menatap mata Alfan dengan sorot mata kesedihan. Tapi apa?

"Tapi kondisi kita terlalu rumit. Keluarga gue, keluarga lo, Alfi... Gue enggak tau ujung cerita ini bakal gimana dan gue sadar semuanya terlalu membingungkan. Jadi, dari pada kita semua terluka. Lebih baik gue menahan rasa meski harus sakit sendirian."

Hati Sarah mencelos, ia jatuh terduduk. Disentuhnya tangan Alfan dan ia bawa dalam pelukannya sambil terisak. Alfan tak kuasa untuk menahan tangis.

"Maafin gue... Maaf.." Alfan kesulitan bicara karena isak tangisnya. Meskipun begitu, Alfan tetap memaksakan diri untuk terus bicara. "Maaf, gue selalu bertindak kasar ... Karena gue selalu melihat bayang-bayang nyokap lo dalam diri lo." Tangisan Alfan membuat hati Sarah semakin sesak.

"Maaf... Maafin gue yang pernah benci nyokap lo... Gue engga bermaksud untuk bohongin lo atau apapun itu."

Sarah memeluk leher Alfan. Membiarkan pria itu menangis di bahunya. "Kenapa harus sembunyi, Fan?"

Tubuh Alfan berguncang karena tangisan. Pria itu balas memeluk Sarah, menumpahkan segala emosi dan penyesalan dalam setiap rengkuhannya.

"Alfan Aditya, dari dulu gue selalu pengen bilang, gue suka sama lo. Sejak dulu, jauh sebelum KKN. Sejak pertama kali lo ngenalin gue tentang Petrichor, Gue suka sama lo. Kata siapa gue suka sama Alfi hm? Kalo semua itu lo yang lakuin, artinya lo yang berhasil buat gue suka sama lo, bukan Alfi."

Sarah mengeratkan pelukannya. "Tapi sikap lo yang samar selalu buat gue bingung, lo selalu buat gue serba salah. Lo selalu sembunyi di bawah bayang-bayang orang lain. Lo selalu buat gue salah paham. Lo selalu menutupi semuanya dan membuat gue benci sama Lo. Lo buat perasaan gue jungkir balik. Gue benci lo yang seperti itu, Alfan." Kini gantian Sarah yang terisak.

"Gue benci saat gue susah untuk melepas lo."

Sarah semakin memeluk kepala Alfan, sedangkan pria itu semakin menenggelamkan wajahnya.

"Gue ... Gue... minta maaf.. gue ga bermaksud... untuk... nyakitin lo... Maaf... Gue... Udah nyalahin nyokap lo..." Alfan sesenggukan. "Gue harus gimana sekarang? Nyokap gue --"

"Gue tau. Itu bukan salah lo." Sarah mengusap kepala Alfan. "Sampai di sini aja, ya, Fan?"

Sarah menggigit bibir. "Berhenti sampai di sini ya? Berhenti nyakitin diri sendiri, berhenti lari dan jangan sembunyi. Jangan pernah nyamar di hadapan gue, jangan sembunyiin perasaan lo lagi. Jangan bertindak pengecut biar gue enggak benci lo. Buat semuanya jelas, dan berhenti saling menyalahkan." Kini suara Sarah yang tertahan oleh isak tangis seiring jari-jarinya yang terus mengelus kepala Alfan.

Sedangkan Alfan semakin mengeratkan pelukannya.

💧💧💧💧

Part ini pendek..

Tapi kabar baiknya aku UP 2 part 😚 jangan lupa tinggalkan komen ya. Sekarang giliran kalian yang hibur aku sama komen komen kalian🤗

PETRICHOR [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang