31 | Tertangkap Basah
.
.
.
."Cewek yang suka baca buku itu damagenya nambah."
Saat mendengar pujian itu, Sarah sama sekali tidak merasa tersanjung. Mungkin efek dari terlalu sering mendengar cemoohan teman-temannya yang menganggap seseorang yang suka membaca adalah pribadi yang flat dan membosankan.
Sarah justru salah fokus pada tatapan Alfan yang berubah sendu.
"Ada apa? ekspresi lo enggak sesemangat ucapan lo waktu bahas penulis."
"Harga buat jadi penulis juga besar buat gue." Usai mengatakan itu Alfan tersenyum sangsi.
"Loh kenapa?"
Dengan nada ragu pria itu kembali bicara, "karena keinginan buat seriusin hobi nulis, gue jadi kehilangan sesuatu."
Mendengar nada bergetar yang Alfan ucapkan membuat Sarah berpikir, apa yang telah Alfan korbankan demi impiannya?
Sebelum pertanyaan itu terlontar, Alfan justru lebih dulu menjawabnya.
"Karena gue keukeuh pengen fokus nulis, gue jadi kehilangan bokap gue hahah." Alfan tertawa pilu. "Sejak gue masih tinggal sama bokap, gue udah kehilangan beliau. You know lah, rasa kehilangan yang kayak gimana."
Alfan sepertinya sudah mengira jika Sarah mengetahui hubungannya dengan Alfi tidak baik-baik saja. Sarah cukup dewasa untuk paham bahwa mereka dulunya anak broken home.
Meski Sarah tahu kemana arah pembicaraan ini berlangsung, Sarah memilih untuk jadi pendengar yang baik dengan membiarkan pria itu mengoceh.
"Bokap gue enggak support sama impian gue. Dia lebih pro ke Alfi karena masa depannya jelas. Alfi enggak muluk-muluk, jalan hidupnya lurus kayak jalan tol. Pemikirannya sama kayak bokap gue yang ngejar kesuksesan dengan cara rajin belajar, dapet beasiswa, kuliah di PTN, terus jadi pewaris perusahaan. Kebiasaan bokap emang suka comparing apples to orange, padahal dia enggak boleh membandingkan sesuatu yang emang enggak bisa dibandingkan."
"Gue jadi enggak heran dari mana sifat realistis Alfi muncul. Tapi orang kayak gitu justru datar enggak sih? Iya sih mereka sukses, tapi jadi biasa aja gitu. "
Meski pilihan hidup Alfan terkesan tidak jelas, membuang-buang waktu dan terlihat seperti main-main dengan dalih menekuni hobi. Nyatanya ia memiliki tujuan hidup yang berbeda. Kebanyakan orang tua memang tidak paham dengan pilihan anak untuk meraih kesuksesan versi mereka sendiri. Alfan tidak bisa menahan senyumnya saat Sarah secara tidak langsung menilai Alfan lebih unggul.
"Gue enggak ngerti sama jalan pikiran si tua itu. Setelah menghakimi gue sepanjang hidup, dia menghasut sodara gue juga. Gue bisa terima kalo dia enggak suka sama pilihan hidup gue untuk nulis. Tapi apa harus dia menghasut sodara gue buat berpihak sama dia?"
"Menghasut gimana?"
"Supaya Alfi mau ikut sama bokap."
"Jadi lo pisah sama Alfi gara-gara Alfi pro bokap lo?" Pertanyaan itu ia ajukan sebagai pertanyaan retoris saja. Karena Sarah sudah tahu jawabannya. Ia hanya butuh konfirmasi dari Alfan langsung.
Ada jeda beberapa detik di antara mereka sebelum Alfan melanjutkan ceritanya. "Awalnya sih gitu. Bokap gue emang rada sensi sama gue dari kecil. Dia enggak pernah setuju kalo gue hobi baca bacaan yang mangkir dari pelajaran sekolah. Padahal banyak pelajaran-pelajaran yang enggak disampaikan di buku pelajaran. Please lah, buku pelajaran itu ngebosenin. Cuma masalah sepele itu, bokap jadi sering berselisih sama nyokap."
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR [END] ✓
Ficção AdolescenteSeumur hidup Sarah mencium aroma asing yang menenangkan ini, ia baru tahu jika aroma tanah basah yang muncul saat hujan turun ternyata punya nama. Namanya Petrichor. Ia masih tak menyangka jika harus mendengar hal unik ini dari pria di hadapannya. S...