Husni pernah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan berhenti mengharapkan sosok yang jelas-jelas tidak mungkin untuk digapai. Dia harus menatap masa depan tanpa harus mengingat semua hal yang pernah menorehkan luka. Membuka lembaran baru bersamaan dengan menutup cerita lama. Namun, semua hal yang pernah dia susun sedemikian rupa itu nyatanya hanya wacana. Tetap saja sosok mungil yang setiap kali melipir ke meja kerjanya untuk menyerahkan berkas, menjadi orang nomor satu yang mampu mengacak hatinya.
Ini bukan sesuatu yang Husni inginkan, tetapi juga bukan hal yang bisa dia kendalikan. Setiap kali dia mencoba untuk melupakan, saat itu juga semuanya terasa sia-sia. Sosok manis itu justru berlarian dalam kepala tanpa mau berhenti. Menebar senyum yang lagi-lagi membuat Husni makin jatuh hati.
"Hus, ini pajak yang kemarin udah aku bayar. Semuanya udah bisa direkap."
Jika melupakan adalah hal yang sulit untuk dilakukan, menerima mungkin memang menyakitkan. Namun, Husni lebih baik seperti ini. Menjalani semuanya tanpa mengelak setiap rasa yang masih tumbuh apik di dalam sana. Dia hanya harus melanjutkan hidup dengan baik. Jika memang dia masih di sini, artinya dia harus menerima segala konsekuensinya.
"Siap, Mbak!"
"Makasih, ya. Aku mau ke bank dulu."
Ada sendu yang terlihat dari sorot mata berwarna kopi itu, yang membuat Husni bertanya-tanya. Dia takut jika ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Tentang Deka, mungkin? Karena Husni ingat betul kejadian minggu lalu.
"Mbak!"
Sebelum Eksa beranjak dari kursi kerjanya, Husni lebih dulu menahan. Dia berdiri, lalu menghampiri wanita yang sedang merapikan beberapa berkas di meja.
"Ya?"
"Mau ke bank mana?"
"Ke Jalan Kusumanegara. Kenapa?"
"Mau aku antar?" Husni diam-diam menggigit bagian dalam pipinya, merasa gugup dengan tawarannya sendiri. "Sekalian aku mau ngurus m-banking."
"Boleh."
"Beneran, Mbak?"
"Nggak jadi nganter?"
Buru-buru Husni menggeleng. "Jadi, kok. Sekarang, kan? Ini udah jam sebelas, mumpung belum masuk waktu istirahat."
"Kamu sibuk nggak? Takutnya nanti dimarahi Pak Januar."
"Aman, aku udah izin sejak beberapa hari lalu. Cuma emang belum jadi ke bank aja."
"Ya udah. Ayo!"
Eksa menyandang tas ransel kecil di sebelah bahu, kemudian berlalu lebih dulu. Meninggalkan Husni yang masih berdiri di depan meja kerja wanita itu. Kedua sudut bibirnya tidak bisa ditahan, mencipta sebuah lengkungan kurva yang apik di sana.
🥀🥀🥀
Selama beberapa hari ini, Eksa selalu kepikiran soal pesan yang masuk ke ponsel Deka. Mungkin memang pesan biasa, tetapi Eksa tidak bisa menganggapnya demikian. Sebab, sosok yang mengirim pesan adalah orang yang pernah menjadi alasan dia dan Deka berselisih paham.
Sejak pesan itu terbaca, ada banyak ketakutan yang mulai muncul. Salah satunya jika sosok itu akan menjadi masalah di kemudian hari. Namun, sebisa mungkin Eksa menepisnya. Kata banyak orang, ujian menuju pernikahan itu memang banyak. Bisa jadi ini adalah ujian itu.
"Mbak? Yah, nggak dengerin ternyata. Padahal aku udah ngomong panjang lebar."
Eksa tersentak. Dia segera menoleh ke arah Husni yang ada di sampingnya, membuat manik mereka bertemu. "Kenapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/215597716-288-k669634.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
RomanceCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...