"Bun, Teteh sakit!"
Eksa menghela napas panjang ketika Rendra tetap lapor pada Hanun soal keadaannya pagi ini. Padahal dia sudah bilang jika tidak apa-apa. Hanya kelelahan.
Senin, awal minggu yang cerah, tetapi tubuhnya ambruk. Untung saja tidak pingsan seperti minggu lalu di kantor.
"Kan, Teteh udah bilang, Ren, Teteh nggak apa-apa." Terlambat, karena Hanun lebih dulu tiba di kamarnya.
"Apanya yang sakit, Nak?"
Gurat khawatir terlihat jelas di wajah Hanun. Membuat Eksa tidak tega dan berujung menepuk lengan Rendra pelan. "Udah dibilang jangan ngadu, masih aja."
"Siapa yang ngadu, sih, Teh? Rendra, kan, peduli sama Teteh. Khawatir juga, pulang-pulang kok tinggal tulang sama kulit."
"Hush, nggak boleh ngomong gitu," sahut Hanun. Dia kemudian beralih pada Eksa. "Pusing? Mau Bunda buatin wedang jahe atau bubur?"
Eksa menggeleng. "Nggak usah, Bun. Aku istirahat aja bentar. Kalau udah enakan, nanti bantuin Bunda buat beres-beres atau ngantar pesanan."
Kini giliran Hanun yang menggeleng. "Kamu nggak usah mikirin itu, Sayang. Pesanannya bisa sekalian di bawa Rendra nanti kalau berangkat ke kampus."
"Iya, Teh. Aku biasanya gitu kalau Bunda sibuk ngerjain pesenan lain. Teteh istirahat aja."
"Pulang bukannya bantuin malah ngerepotin, ya," kata Eksa.
Kontan ucapannya itu membuat Hanun menggeleng lagi. "Jangan bicara kayak gitu. Kamu harus banyak istirahat. Nggak usah mikir hal-hal yang nggak penting."
Padahal harusnya Eksa yang bilang demikian pada sang bunda. Karena demi apa pun, setelah dia menceritakan bagaimana rencana pernikahannya bisa batal, semuanya tidak lagi sama. Eksa tahu jika Hanun kembali terluka. Hati yang pernah tergores dua kali itu, kini harus rela tergores lagi.
"Loh, kok, nangis? Udah nangisnya, ya. Nanti mata pandanya makin kelihatan."
Eksa tidak bisa menahannya, meskipun sekuat tenaga dia lakukan. Ketegaran Hanun setelah semua yang terjadi justru membuat Eksa semakin merasa bersalah. Tidak seharusnya dia ikut menoreh luka pada hati yang sebenarnya rapuh itu. Namun, lagi-lagi semua di luar kendalinya.
"Udah, ya. Nanti Bunda buatin wedang jahe dulu. Kamu istirahat, nggak usah pusing mikirin pekerjaan rumah atau yang lain. Kalau gitu, Bunda tinggal dulu."
Hanun kemudian berlalu, meninggalkan Eksa dan Rendra yang masih duduk di tepi ranjang sang kakak.
"Teh, jangan mikir aneh-aneh," kata Rendra tiba-tiba. Tangan pemuda itu terulur untuk mengusap air mata yang jatuh di pipi Eksa. "Kalau Teteh khawatir sama bunda, Teteh tenang aja. Ada Rendra yang selalu jagain bunda."
"Maafin Teteh, Ren." Eksa mengubah posisi duduk dari bersandar pada head bed, menjadi agak maju. Mendekat pada sang adik yang masih duduk di tepi ranjang. "Maaf udah bikin semuanya kacau kayak gini."
"Teteh mau sampai kapan menyalahkan diri sendiri seperti ini?"
Eksa tidak tahu, tetapi semuanya masih terasa sulit untuk diterima. Bukannya dia tidak mencoba, dia melakukannya, kok. Namun, dia bukan manusia super yang bisa langsung berdiri tegak tanpa merasa terbebani.
"Rendra mungkin masih kecil, belum juga umur dua puluh. Tapi, Rendra nggak akan jadi kekanakan dan menyalahkan Teteh karena hal ini," ucap pemuda berusia sembilan belas tahun itu. "Kata guru Rendra dulu, semua hal baik atau buruk yang terjadi itu bukan tanpa alasan. Mungkin ketika baru mengalami sesuatu yang nggak diinginkan, kita bakal menyalahkan keadaan atau apa pun itu. Tapi ketika kita udah cukup waras untuk berpikir, akan ada hal baik yang kita dapat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
RomanceCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...