"Weh, Sa! Nggak bilang-bilang kalau lamaran!"
"Selamat, Sa! Lancar pokoknya sampai akad."
"Akhirnya, ya, Sa! Ikutan seneng, lancar pokoknya, ya, besok!"
"Makan-makan, dong, nih!"
"Wah, congrats, Sa!"
"Otw ganti status, nih! Selamat, Sa!"
Suasana kantor sedikit gaduh pagi ini. Berbagai ucapan selamat dari rekan kerja mengudara disertai gelak tawa bahagia. Sosok yang diberi selamat juga turut tersenyum lebar, terlihat begitu berseri dengan mata berbinar. Hal itu tidak urung membuat Husni yang berada di balik meja kerja turut serta menarik kedua sudut bibir. Mengabaikan rasa sesak yang sejak beberapa hari terakhir tidak juga beranjak.
Jika bisa memutar waktu, Husni ingin kembali pada masa awal magang satu tahun lalu. Menghapus segala memori yang berkaitan dengan wanita yang kini tengah berbahagia. Mungkin dengan begitu, tidak akan ada sakit yang dirasa. Karena semua berjalan tanpa kisah apa-apa. Namun, semua hanya sebatas kata andai.
Waktu. Satu hal yang sarat akan makna. Katanya, waktu bisa membuat bahagia, waktu bisa menyembuhkan luka, waktu bisa mengubah keadaan, pun karena waktu, bisa membuat seseorang berduka. Ada banyak arti di balik kata waktu. Salah satunya yang begitu Husni harap bisa menjadi sebuah penawar baginya. Tidak banyak yang Husni pinta, dia hanya ingin semua lekas berlalu dan pulih seperti sedia kala.
"Hus, bengong aja, ih!"
"Eh, Mbak Eksa."
"Banyak banget kerjaannya, ya? Butuh bantuan? Kalau iya, bagi sama aku aja nanti."
Husni menggeleng. Mulai detik ini, dia akan berusaha bersikap biasa dan perlahan menghapus rasa. Hanya itu yang saat ini bisa Husni coba. Karena menghindar bukanlah satu hal yang bisa dijadikan pilihan.
"It's oke, Mbak." Husni tersenyum, meskipun retak di dada kian melebar. "Nggak banyak, kok."
"Yakin? Aku lumayan selo¹, laporan pajak udah aku kirim kemarin. Jadi, udah nggak ada tanggungan berat lagi."
"Syukur kalau udah selesai. Tapi serius, aku masih bisa handle. Soalnya banyak yang udah aku jurnal kemarin juga. Palingan nanti buat ppt presentasi Pak Januar aja."
"Sip, deh!" Eksa mengacungkan jempol. "Oh iya, aku lupa! Aku punya sesuatu buat kamu. Bentar!"
Husni mengerutkan kening ketika Eksa buru-buru berbalik. Berjalan tergesa menuju meja kerjanya dan kembali beberapa saat kemudian. Wanita itu membawa satu paper bag ukuran sedang. Meletakkannya di meja Husni dengan senyum mengembang.
"Oleh-oleh dari Bandung," kata Eksa. "Buat kamu."
Husni memandang pada paper bag berwarna cokelat dan Eksa secara bergantian. Keningnya berkerut bersamaan dengan pertanyaan yang berjubel di kepala. "Buat aku?"
"Iya buat kamu," jawab Eksa masih dengan senyum. "Maaf, ya, nggak banyak. Kemarin buru-buru soalnya. Nggak sempat belanja banyak. Di rumah lumayan sibuk juga, jadi beli oleh-oleh yang deket aja."
Kedua sudut bibir Husni tertarik. "Makasih banyak, Mbak."
"Sama-sama, Hus. Di makan, ya. Buat amunisi di kos. Biar kamu nggak keluar kalau lagi mager cari makan." Usai mengucapkan itu, Eksa lantas berbalik. Bersiap untuk melangkah kembali ke meja kerja. Namun, belum juga kakinya terayun, suara Husni lebih dulu menginterupsi.
"Mbak Eksa!"
Wanita itu membalikkan badan. "Ya?"
Ada jeda sejenak sebelum Husni mengucap kata. Sekuat tenaga dia mengontrol degup jantung yang menggebu di dada. Bersamaan dengan itu, sesak kembali terasa. Namun, Husni tidak bisa berlarut dengan hal seperti ini. Kisahnya dengan wanita itu tidak bisa terjalin kembali. Berhenti di sini dan tidak akan pernah berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Mengikhlaskan adalah final dari semua kisah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
RomanceCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...