13. Memulai Kembali

158 28 97
                                    

Bacanya abis buka aja ya beb wkwkwk

🥀🥀🥀
.
.
.
.
.

Keduanya berakhir duduk di ruang tamu indekos yang Eksa tinggali. Bertemankan dua gelas kopi, satu kotak martabak, dan beberapa bungkus camilan. Belum ada obrolan yang berarti, hanya hening yang dibiarkan menyelimuti.

Sejak pelukan tadi, Eksa merasa lebih lega. Meskipun rasa kecewa itu masih tersemat di hatinya. Tidak bisa dipungkiri jika sebenarnya dia masih berharap semua bisa kembali normal.

"Aku capek." Wanita itu memulai obrolan. Memecah sunyi yang mengambang sejak keduanya duduk di ruang tamu.

"Maaf."

Kedua sudut bibir Eksa tertarik. Menampilkan senyum yang terkesan miris dan menyedihkan. Sudah puluhan kali kata maaf Deka ucapkan. Namun, tak juga membuat semuanya membaik. Ada saja hal yang terjadi setelahnya. Eksa pernah membaca, jika kata maaf yang terlontar itu tak melulu berasal dari hati yang terdalam. Apa lagi jika yang mengucapkan terasa seringan bulu. Eksa jadi sangsi, benarkah Deka menyesal?

"Mau berapa kali kamu ucapin itu? Ribuan?" Tanpa pandu, satu tetes air mata kembali mengalir. Luruh begitu saja bersamaan dengan luka yang masih saja dirasa.

Deka mendesah samar. Dia mengubah posisi duduk jadi menyamping, tepat menghadap Eksa yang kini menatap kosong segelas kopi di genggaman. "Sa—"

"Aku cuma minta satu, Dek. Nggak banyak. Apa itu sangat susah buat kamu penuhi?"

Eksa menoleh perlahan, membuat netranya bertemu dengan milik Deka. Ada sesal yang terpancar di sana. Bersatu dengan sendu yang juga terlihat begitu jelas. Namun, Eksa tak tahu, apakah itu sesal yang sesungguhnya?

"Aku cuma pengin kamu jujur. Susah banget, ya?"

Mungkin memang senyum tipis yang timbul ketika ucapan itu terlontar. Namun, lagi-lagi ada beberapa tetes air mata yang ikut bergerak turun. Mengalir bebas tanpa bisa dikontrol.

"Aku ...." Seperti kehabisan kata, Deka kelu hanya sekadar untuk menyanggah. Tidak ada padanan kata yang tepat yang bisa diucapkan. Semuanya terlalu jelas. Dia yang berkali-kali tertangkap basah oleh wanitanya, tengah bersama orang lain dengan perlakuan yang memang tak semestinya.

Deka sadar, dia dan Nares kadang berlebihan sebagai seorang teman laki-laki dan perempuan. Dia hanya ... terlalu nyaman? Karena kadang, dia merasa Eksa tak sedekat itu sebagai seseorang yang berstatus lebih dari teman.

"Kalau kamu bisa berteman dengan Nares, itu artinya aku boleh berteman dengan laki-laki juga, kan?"

Suara Eksa yang kembali terdengar menyadarkan Deka. Membuat laki-laki itu menegakkan kepalanya yang sempat tertunduk.

"Kita mulai dari saling percaya, Dek. Aku nggak akan mempermasalahkan semua jika saja kamu terbuka."

Mungkin memulainya kembali adalah satu hal yang paling tepat untuk saat ini. Keduanya saling sayang, saling bergantung satu sama lain tanpa mereka sadari.

"Aku janji nggak akan jalan berdua sama Nares lagi."

Eksa tersenyum miris. "Aku nggak perlu hal kayak gitu. Kamu nggak usah janji jika berujung menyakiti."

"Aku ... harus gimana?"

Wanita itu tidak segera menjawab. Tangannya tergerak untuk meletakkan gelas kopi yang mulai dingin di atas meja. Perlahan dia mengubah posisi duduk ikut menyamping, berhadapan dengan Deka yang sejak tadi menatapnya.

"Aku sayang sama kamu." Eksa memulai kembali obrolan yang sempat tertunda. Dia membalas tatapan laki-laki itu dengan sorot sendu. "Tapi aku nggak tahu apakah kamu juga merasa sebaliknya?"

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang