15. Katanya, Bahagia Itu ...

122 24 39
                                    

Katanya bahagia itu sederhana.

Sekian lama Nares mencoba memahami kalimat itu, mencoba mencari jawaban sendiri terkait dengan kebahagian yang katanya sederhana. Jika memang sederhana, kenapa ayahnya pergi demi orang baru? Padahal ibunya sudah memberikan segala hal yang beliau punya. Jika memang sederhana, kenapa orang yang dulu dia suka tidak pernah melihatnya? Ah, sepertinya sederhana bagi yang lain, tetapi tidak bagi Nares. Karena pada kenyataannya hal sederhana tidak membuatnya merasa bahagia.

Bahagia tidak lebih dari kata semu untuknya. Bibirnya memang mencipta senyum, tetapi hatinya beku sebab tidak ada rasa itu di sana. Hanya sakit yang terpupuk sejak lama hingga membuatnya terbiasa. Terbiasa dengan sepi yang bertahun-tahun membelenggu. Mengungkungnya dalam jurang luka yang tak berujung.

Nares sempat berpikir, mungkin dalam jangka waktu yang lama, dia tak akan mengecap yang namanya bahagia. Karena tidak ada yang spesial dalam hidupnya. Namun, ketika seseorang datang, semuanya perlahan berubah. Hati yang sempat beku itu mulai mencair, kembali menghangat seiring berjalannya waktu.

Sosok bernama Anargya Deka Nugroho benar-benar mampu mengubah pandangan Nares soal bahagia. Apa yang dulu dia pikirkan, pelan-pelan mulai terkikis. Berganti dengan rasa hangat yang kerap kali menyelimuti hatinya.

Ternyata bahagia memang sederhana. Sesederhana saat dia bisa melihat senyum Deka.

"Na, laporan udah aku kirim ke file transit, ya. Cek aja. Kalau ada yang kurang, nanti aku perbaiki."

Jika senyum saja bisa membuat Nares menghangat, kehadiran sosok itu setiap harinya menjadi sebuah kekuatan. Beribu syukur Nares ucapkan kepada pemilik semesta karena telah menjadikan hidupnya lebih berarti.

Pertemuan pertamanya dengan Deka adalah saat mereka memasuki bangku kuliah. Kala itu Nares kesulitan mencari letak gedung rektorat akademik. Pada saat itu, Deka menyapanya. Lantas ketika tahu jika tujuan keduanya ternyata sama, laki-laki yang memiliki senyum manis itu mengajaknya. Bersama-sama menuju gedung yang berada tidak jauh dari tempat mereka bertemu.

"Oke, aku cek nanti. Kalau ada revisi, segera aku kabari lagi."

"Siap! Eh iya, aku balik duluan, ya! Udah jam empat. Kamu mau lembur?"

"Enggak, cuma aku balik belakangan. Dipanggil Pak Bos sama Bagas."

"Oke, hati-hati baliknya. Aku mau jemput Eksa. Duluan, ya!"

Namun, ketika nama seseorang disebut, Nares merasa ada yang patah di sana. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi terasa menyesakkan.

Nares tahu, dia sangat terlambat menyadari apa yang dia rasa pada laki-laki itu. Dulu, Nares sempat menyukai orang lain, kendati Deka tetap menjadi tempat ternyamannya. Menjalin hubungan yang tidak bertahan seberapa lama. Lantas ketika rasa lain itu mulai hadir dalam dirinya, Deka telah bersama orang lain.

"Boleh nggak, Dek, aku egois?"

Kelopak matanya mengerjap pelan, bersamaan dengan buliran bening yang kini luruh begitu saja. Menyaksikan Deka yang terlihat begitu bersemangat untuk menjemput seseorang bernama Eksa, yang tidak lain adalah kekasihnya.

🥀🥀🥀

Banyak orang bilang jika bahagia itu sederhana dan Satria mengakuinya. Iya, bahagia itu sederhana. Sesederhana ketika dia bisa melihat sahabatnya tersenyum dan baik-baik saja. Kendati ada sesuatu yang perih dalam dadanya, tetapi tidak apa-apa. Selama Eksa bahagia, Satria akan berusaha bahagia.

Eksa.

Nama itu sudah terpatri sejak lama. Menancap kuat di dada selama bertahun-tahun lamanya. Kadang Satria merasa heran dengan dirinya sendiri. Dia memilih untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun karena hatinya sudah mentok dengan seseorang. Sialnya seseorang itu sudah memiliki orang spesial.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang