23. Menuju Kota Batu

70 14 19
                                    

"Yang, jadinya ke Batu lusa, bukan awal bulan depan."

Sejak dulu, Eksa paling tidak suka dengan acara yang mendadak. Apalagi jika acara itu membutuhkan persiapan yang lumayan banyak. Mulai dari pakaian—meskipun hanya beberapa helai—obat pribadi jika dibutuhkan, pun dengan uang yang mungkin jadi urutan nomor satu. Namun, ketika mendengar penuturan Deka barusan, Eksa jadi kesal. Dia ingat jika calon suaminya itu pernah bicara soal liburan kantor ke Kota Batu. Deka mengajaknya ikut serta karena dibolehkan oleh atasan. Namun, semuanya jadi mendadak. Padahal dulu Deka pernah bilang jika liburan diadakan awal bulan depan. Tentu Eksa tidak bisa. Dia baru mengambil cuti minggu lalu. Tidak mungkin cuti lagi pada bulan yang sama.

"Kok dadakan, sih? Kamu bilang awal bulan depan."

Tangan Eksa sibuk mengaduk jus mangga yang masih penuh. Wajahnya terlihat jelas sedang kesal, hal yang kemudian membuat Deka menghela napas pelan. Diraihnya jemari milik wanita itu dan menggenggamnya lembut.

"Aku juga nggak tahu, Yang. Kemarin tiba-tiba HRD bilang kalau dimajukan. Kamu nggak bisa cuti lagi?"

Gila. Mana bisa? Jika Eksa memaksa meminta jatah cuti lagi, namanya dia tidak tahu diri. "Nggak, lah! Kemarin aja aku udah cuti tiga hari. Lagian, Dek, ini udah menjelang akhir bulan. Kerjaanku banyak."

"Padahal aku pengin kamu ikut." Deka berujar sedih. Dia sangat ingin Eksa ikut serta. Sudah banyak sekali hal yang dia rencanakan jika wanita itu bisa dia gandeng menuju Kota Batu. Deka ingin menikmati masa sebelum mereka melepas lajang dua bulan lagi.

"Ya udah, lain kali aja kalau gitu. Have fun liburannya."

Eksa kesal dan Deka paham itu. Dia sendiri juga sebenarnya kurang begitu setuju jika liburan dimajukan. Namun, menolak pun bukan satu hal yang bagus. Mengingat semua itu dilakukan karena ada agenda penting pada awal bulan. Jadi, liburan yang jauh lebih fleksibel diganti hari supaya semua bisa ikut.

"Aku bawain oleh-oleh nanti. Mau apa? Apel sekilo? Jangankan sekilo, lima kardus aku beliin!"

Bibir yang awalnya terlihat datar, kini mulai tertarik. Memunculkan sebuah senyum tipis yang manis. "Lebay!"

"Dih, nggak lebay, Yang! Serius deh, mau apa? Aku beliin nanti."

Eksa mengalihkan atensi dari segelas jus yang masih utuh ke arah Deka. Laki-laki itu menatapnya lembut dengan senyum kecil tersungging di wajah tampannya. "Nggak minta banyak hal. Cuma minta kamu nggak aneh-aneh, terus berangkat dan pulang dalam keadaan sehat. Itu lebih dari cukup."

"Aku janji, Yang. Nggak aneh-aneh dan bolak-balik dalam keadaan sehat nan tampan. Bonus apel lima kardus buat kamu. Okay?"

Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana hari esok akan terjadi. Banyak rencana yang tersusun dan tercapai persis seperti harapan, bahkan ada yang jauh lebih indah dari perkiraan. Namun, siapa yang tahu dengan kemungkinan lain, kan? Karena sebaik-baiknya perencana hanyalah pemilik semesta, yang bisa menjadikan semuanya di luar jangkauan manusia.

🥀🥀🥀

Kata orang, waktu adalah penyembuh luka yang paling hebat. Karena seiring waktu berjalan, hal-hal yang pernah membuat hati tergores perlahan akan sirna. Hilang bersamaan dengan bergantinya masa.

Husni pernah membenarkan hal itu. Dia yakin jika luka yang pernah tertoreh akan sembuh seiring berjalannya waktu. Hilang dan berganti dengan hal-hal baru dalam hidup. Namun, ketika dia merasakan sendiri bagaimana luka itu menggores hatinya tanpa ampun, Husni menyadari sesuatu. Bahwa luka tidak pernah enyah dari sana. Luka itu masih sama, waktu yang hanya membuatnya terbiasa.

"Jadi, lo ... gimana?"

Sudut bibir Husni berkedut ketika mendengar pertanyaan seseorang di seberang. Dia menceritakan semuanya, pada orang yang selama beberapa bulan ini tidak bertatap muka.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang