Pertengahan tahun 2020
Banyak orang bilang jika tahun baru adalah lembaran baru. Semua hal yang berlalu pada tahun sebelumnya akan menjadi sebuah memori dan berharap pada tahun berikutnya semua menjadi lebih baik.
Eksa menyetujui ungkapan tersebut. Tidak ada orang yang menginginkan waktunya ke depan akan lebih buruk, kan? Semua berharap menjadi lebih baik dari sebelumnya. Entah dalam segi karir, romansa, ruhiyah, atau keadaan lainnya. Eksa pun begitu, dia meminta pada Pemilik Semesta untuk hidupnya yang lebih baik. Menjadikan pelajaran segala hal menyakitkan yang pernah terjadi dan berhati-hati dalam melangkah ke depan supaya tidak jatuh pada lubang yang sama.
Tahun lalu, Eksa sempat mengira jika dunianya runtuh dan berhenti berputar ketika tertimpa beban yang berat. Hidupnya berada di titik ujung yang membuatnya susah untuk bangkit. Penyesalan demi penyesalan mulai menumpuk dalam hati dan memojokkan seolah dia adalah orang terbodoh di muka bumi. Apakah tidak ada yang lebih bodoh dari orang yang berkali-kali memberi kesempatan, tetapi berkali-kali pula disakiti? Sepertinya hanya Eksa. Memang sepertinya hanya dia yang berlaku demikian karena alasan sayang dan cinta.
Bah! Serius? Bahkan Eksa sendiri ragu apakah itu cinta atau hal lain yang menahannya? Karena ketika masih bersama dengan orang yang menorehkan luka pun, perlahan satu titik dalam hati Eksa mulai diisi oleh hal lain.
Sesuatu yang membuatnya nyaman, tenang, dan mampu membuat kedut di kedua sudut bibir menjadi sebuah lengkungan kurva.
"Sa, kalau kamu kuajak makan siang bareng, bisa? Ya, itung-itung sebelum hari terakhir aku di sini."
Sesuatu yang nyaman mungkin bisa dideskripsikan dari seseorang yang kini berdiri di depan meja kerjanya. Jujur saja, sosok itu banyak sekali berperan dalam hidup Eksa selama beberapa tahun saling kenal. Berlabel seorang teman yang pada akhirnya pernah terjatuh karena perasaan. Mungkin memang benar kata orang-orang, bahwa pertemanan antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah berhasil. Salah satunya atau justru dua-duanya akan kalah dengan perasaan sendiri.
"Mau traktir ceritanya?"
Dan cerita tentang pertemanan yang seperti itu, terjadi pada Eksa. Satria Rahagi, seseorang yang memasang senyum sembari menggulung lengan kemeja hingga siku, adalah orang yang sama dengan yang menyatakan perasaannya pada Eksa berbulan-bulan lalu.
"Sebenarnya kalau kamu mau bayarin aku juga nggak apa-apa, Sa." Satria mengerling jahil. "Harusnya yang mau resign gini dikasih kado, kan. Atau minimal traktiran?"
"Nagih, ya, Pak." Eksa tertawa pelan sembari membereskan beberapa lembar kertas yang menumpuk di atas meja. "Nanti, deh, aku beliin sempol dua puluh sembilan tusuk."
"Kenapa kudu dua puluh sembilan?"
"Sesuai umur Anda."
"Belum genap segitu, ya, enak aja."
Satria memang pernah mengakui perasaannya pada Eksa. Bahkan tanpa wanita itu duga, Satria juga melakukan hal yang lebih. Yes, he kissed her. Sesuatu yang kemudian membuat Eksa agak menjauh selama beberapa waktu. Tentu saja karena dia terkejut, karena Eksa tidak pernah berpikir akan tindakan Satria yang sejauh itu. Namun, memberi jarak bukan berarti memutus pertemanan. Ketika sudah merasa jauh lebih baik, Eksa kembali bersikap seperti biasa. Berusaha untuk tidak mengungkit dan menguburnya dalam-dalam.
"Mau makan kapan? Sekarang apa nanti?"
"Sekarang, dong. Udah jam setengah satu juga. Atau kamu mau ke musala dulu?"
Eksa menggeleng. "Aku tadi udah salat. Kamu udah salat?"
"Aku udah ganteng, kan?"
Kening Eksa berkerut, tidak mengerti arah pembicaraan Satria.
![](https://img.wattpad.com/cover/215597716-288-k669634.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
RomanceCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...