10. Malam di Bukit Bintang

137 30 54
                                    

"Lah, kok, nggak bilang kalau mau pulang, Le?"

Awalnya Husni tak berencana pulang karena hari sudah menjelang sore. Namun, niatnya untuk kembali ke kota Jogja akhirnya pupus ketika motor berbelok ke arah jalan menuju rumah. Eksa yang duduk di jok belakang motor juga tak banyak protes. Justru kedua sudut bibirnya tertarik perlahan di balik masker.

"Iya, Buk. Tadi ke pantai, jadi mampir ke rumah dulu."

Wanita yang dipanggil ibu itu tersenyum lembut. Meski kerutan sudah tampak di sana-sini, tetapi tak mengurangi kecantikannya.

"Ngajak teman?" Ibu melempar tanya, sementara netranya jatuh pada sosok mungil yang berdiri di belakang Husni.

Eksa yang merasa dirinya disinggung, akhirnya melangkah maju. Diulurkannya sebelah tangan pada wanita itu. Mengucap salam sembari mencium punggung tangannya.

"Saya Eksa, Bu."

Masih dengan senyum, Ibu bertanya lagi, "Temannya Husni?"

"Iya, Bu." Eksa mengangguk. "Saya teman kerjanya."

"Oalah. Ya udah, masuk dulu, Nduk. Kebetulan tadi Ibu abis goreng singkong. Masih anget. Yuk!"

Ibu sudah melangkah lebih dulu, meninggalkan Eksa dan Husni yang masih berdiri di halaman rumah. Keduanya hanya diam, menciptakan hening yang mengambang selama beberapa saat.

"Masuk, Mbak," ucap Husni pada akhirnya. Memecah sunyi yang menyelimuti mereka berdua.

"Duluan, aku ngikut."

Husni tersenyum, lalu mulai melangkah ke dalam rumah diikuti Eksa yang berada di belakangnya. Belum juga kakinya mencapai pintu, laki-laki itu berhenti. Membuat Eksa berhenti mendadak dan menabrak punggung lebarnya.

"Duh, ngagetin, ih! Nggak bilang-bilang kalau mau berhenti."

"Mbak, sih, jalan sambil nunduk," cibir Husni. "Sini di samping, jangan di belakang," lanjutnya.

Eksa maju selangkah, beralih posisi di samping Husni. Lantas keduanya berjalan beriringan menuju teras dan memasuki rumah.

"Sini-sini, Nduk, duduk sini." Ibu mempersilakan Eksa duduk, sementara Husni sudah berlalu lebih dulu.

"Aduh, itu anak nggak sopan banget malah pergi gitu." Ibu sedikit menggerutu, tetapi lekas tersenyum ketika manik matanya bertemu dengan milik Eksa. Kedua tangannya meletakkan nampan berisi dua gelas teh yang masih mengepulkan asap, juga satu piring singkong goreng. "Monggo, Nduk. Ibu nggak persiapan apa-apa tadi, nggak tahu juga kalau anak lanang bakal pulang."

Eksa tersenyum canggung, sedikit tidak enak karena edisi mampirnya yang mendadak malah merepotkan. "Nggak apa-apa, Bu. Saya minta maaf malah ngerepotin Ibu."

Menggeleng pelan, Ibu mengibaskan sebelah tangannya. "Wis, nggak apa-apa. Nggak ngerepotin sama sekali. Ibu malah senang kalau ada teman Husni mau mampir. Oh iya, ayo diminum tehnya. Singkongnya juga masih anget. Kebetulan tadi Bapak pulang dari tegalan bawa singkong banyak."

Eksa mengangguk, lalu mengambil satu gelas teh. Diminumnya pelan teh yang masih mengepulkan asap itu. Sementara netranya sedikit mengedarkan pandang.

Rumah Husni lumayan besar, khas rumah orang-orang Jawa yang memiliki tiga bagian. Dua saling berjajar depan dan belakang sedangkan yang satu berada di samping. Eksa menebak kalau bagian samping digunakan sebagai dapur. Dia masih ingat jika rumah yang dijadikan posko KKN dulu juga memiliki model yang sama.

"Ibu sama Bapak berdua aja kalau Husni kerja di kota?" Eksa memulai percakapan. Menghapus rasa canggung yang melanda karena berlama-lama diam.

"Iya, Nduk. Husni anak ragil, terus kakak-kakaknya sudah menikah dan ikut keluarga masing-masing."

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang