"Hus, keputusanmu udah bulat?"
"Soal?"
"Resign."
Husni menghentikan jemarinya yang mengetik di atas keyboard laptop, kemudian mengalihkan pandang pada Wildan yang duduk di hadapannya. Keduanya tengah berada di salah satu kafe untuk mengerjakan sebuah project. Sembari melepas penat ditemani dua cangkir kopi dan seporsi kentang goreng.
"Menurutmu gimana, Wil?"
"Malah balik nanya." Wildan berdecak. "Jangan dulu mendingan. Kecuali kalau kamu keberatan dengan itu semua."
"Keberatan sih enggak." Husni memundurkan badan, bersandar pada kursi yang diduduki. "Cuma nanti akunya ngerepotin doang apa enggak?"
"Kayak sama siapa aja, deh." Wildan mengambil satu cangkir kopi yang sisa setengah. Perlahan dia menyesapnya, menikmati minuman pekat itu yang menjadi temannya sehari-hari. "Saranku, fokus dulu sama kerjaan kamu. Lagian aku sama Jeje bisa handle, kok."
Husni dan kedua sahabatnya tengah merintis sebuah usaha di bidang digital marketing. Baru berjalan sekitar beberapa bulan dan masih banyak melakukan riset. Rencananya, mereka akan menjual beberapa produk fashion khusus kaum Adam. Jeje yang pernah menjadi leader advertising, merupakan tombak usaha mereka. Dibantu oleh Wildan di bagian konten sekaligus videografer dan Husni untuk pengelolaan keuangan.
"Sebenarnya aku juga masih rencana, Wil. Aku akan mengundurkan diri kalau emang udah bener-bener jalan dan enggak bisa aku bagi waktunya sama di kantor sekarang," jelas Husni. "Lagian aku baru setengah tahun di sana."
"Iya gitu aja." Wildan mengangguk setuju. "Aku sama Jeje juga masih ngerjain yang lain, meskipun enggak full."
"Emang Jeje nggak dikontrak sama kantornya, Wil?"
Wildan menggeleng, lantas membenahi letak kacamatanya yang sedikit menurun. "Itu kenapa dia memutuskan untuk mendirikan usaha ini. Dia nggak bilang ke kamu?"
"Enggak. Atau mungkin belum? Belakangan dia sibuk banget."
"Sayang banget sebenarnya. Jeje sangat berpotensi, tapi kurang mendapat apresiasi," kata Wildan. Laki-laki itu lantas memundurkan badan, menyandarkan tubuh pada kursi sebagai peregangan. Berkutat dengan laptop selama hampir dua jam cukup membuat badannya lelah. "Ngomong-ngomong, gimana kabar Mbak Eksa?"
Begitu nama Eksa disebut, Husni langsung mengalihkan pandang. Netranya bertemu dengan milik Wildan yang dibingkai kacamata bulat.
"Mbak Eksa? Dia baik, kok."
"Aku masih inget pas malam-malam kamu ajak ke kontrakan." Wildan mengambil kentang goreng, kemudian memakannya. Ini makanan porsi kedua yang dia pesan terhitung sejak satu setengah jam lalu. "Ikut sedih aja. Pasti berat banget sampai dia kelihatan enggak semangat sama sekali."
Husni mengangguk-angguk setuju. Saat itu memang keadaan Eksa tidak baik-baik saja. Setiap bertemu di kantor, pasti kacamata tidak pernah absen membingkai matanya. Sengaja digunakan untuk menghalau kantung mata yang lumayan parah.
"Kalau aku di posisi dia pun, bakal ngerasa demikian, Wil. Ibaratnya aku udah ngasih semua pada orang yang aku harap bisa jadi teman hidup, tapi balasannya kayak gitu."
"Berat memang." Wildan manggut-manggut. "Tapi aku yakin itu yang terbaik. Lagian, misal mereka beneran jadi nikah, nggak menjamin setelahnya akan baik-baik aja, to? Ya, maksudku, bisa aja ketahuan soal yang sama tapi setelah nikah. Itu pasti bakal jauh lebih berat."
Wildan benar. Mungkin itu semua yang terbaik. Lagi pula, tidak ada yang tahu rencana Pemilik Semesta. Kendati manusia sudah menyusun sedemikian rupa, tetap semua kembali Rabb seluruh alam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
عاطفيةCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...