31. Pengakuan

94 16 36
                                    

Langit mulai gelap ketika Eksa masih berkutat dengan komputer dan beberapa tumpukan berkas di meja. Orang-orang di kantor sudah banyak yang beranjak untuk pulang. Namun, alih-alih ikut pulang, Eksa memilih untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sebenarnya tidak terlalu padat. Mengurangi tanggungan yang sebenarnya bisa dikerjakan besok.

"Sa, aku balik duluan."

Eksa mengalihkan atensi dari layar komputer ketika mendengar suara Satria. Laki-laki itu berdiri di depan meja kerjanya dengan menyandang ransel di pundak.

"Udah selesai?"

Satria mengangguk. "Hamdalah udah."

"Sip!" Eksa tersenyum kecil. "Hati-hati baliknya!"

"Kamu juga hati-hati," kata Satria. "Udah malem juga, nggak usah dikelarin sekarang nggak apa-apa. Lanjut besok."

"Bentar lagi selesai, kok. Nanti aku langsung nyusul pulang."

"Ya udah, hati-hati baliknya. Aku duluan, Sa. Maaf nggak bisa nungguin. Ada perlu soalnya."

"Nggak apa-apa, Satria. Kayak aku nggak tahu jalan buat pulang aja."

Satria tertawa sembari melambaikan tangan, sebelum benar-benar berlalu meninggalkan ruang kerja. Menyisakan Eksa yang masih berkutat dengan komputer di sana.

"Semangat, Sa! Bentar lagi selesai," monolognya.

Wanita itu kembali berfokus pada layar komputer. Cukup lama Eksa berkutat dengan pekerjaannya hingga suara denting ponsel kembali mengalihkan atensi. Diambilnya benda pipih yang tergeletak di samping keyboard.

Ada satu pesan dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Begitu dia buka dan melihat foto profil dari nomor tersebut, Eksa agak terkejut. Dia adalah Nares.

"Dapet nomorku dari mana, deh?"

Eksa menghela napas pelan, lantas buru-buru membuka pesan tersebut. Keningnya dibuat berlipat karena membaca pesan dari wanita semampai itu.

Sa, bisa ketemu? Aku pengin ngobrol

Sejenak Eksa bergeming. Netranya menatap satu baris kalimat yang dirasanya agak aneh. Ini adalah kali pertama wanita itu mengajaknya bertemu. Sejak awal, mereka tidak bisa dikatakan sebagai dua orang yang dekat. Terlebih ketika beberapa hal yang terjadi dalam hubungannya dengan Deka, pemicunya adalah dia.

Mendadak Eksa dihinggapi rasa takut. Dia bukan bermaksud berpikiran buruk pada Nares, tetapi yang dirasakan untuk saat ini memang demikian. Terakhir kali dia overthinking pada wanita itu ketika pesannya yang terbaca di ponsel Deka beberapa waktu lalu. Padahal hanya ucapan terima kasih, tetapi mampu membuat hati Eksa lagi-lagi nyeri.

Suara denting ponsel membawa kesadaran Eksa kembali. Memecah lamunannya tentang sosok di seberang. Satu pesan kembali masuk dari orang yang sama. Membuat Eksa buru-buru membuka dan hendak membalasnya. Dia lupa belum membalas pesan yang pertama masuk.

Oh, maaf nggak bilang. Ini Nares. Kamu sibuk?

Oh, Nares. Enggak, kok, kalau sibuk. Emang lembur, tapi udah mau selesai. Gimana, Na?

Fokus Eksa untuk menyelesaikan pekerjaan jadi tercecer ke mana-mana. Berbagai pertanyaan mulai berjubel di kepala, salah satunya tentang niat Nares menemuinya. Wanita itu jadi tidak lagi tenang untuk menuntaskan lemburannya malam ini.

Aku pengin ngobrol. Maaf, ya, ganggu waktunya

Nggak apa-apa. Mau ketemu di mana?

Aku udah di lobi kantor kamu

Satu baris pesan terakhir yang terbaca membuat Eksa mengernyitkan kening. Bagaimana bisa wanita itu sudah berada di kantornya? Padahal Eksa baru bilang jika dia lembur ketika membalas pesan pertama tadi. Perasaan Eksa jadi semakin tidak enak.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang