Heyyo, jangan bosen dapet notif update tiap malem ya wkwk. Tahan sampai 31 Januari. Oke, happy reading.
🥀🥀🥀
Ini hari keempat Eksa cuti. Selama itu pula Husni merasa benar-benar hampa. Netranya berkali-kali terarah pada meja kerja yang berada tidak jauh dengan mejanya. Seolah benda itu akan hilang jika tidak dipantau meski hanya beberapa detik.
Gila! Eksa benar-benar membuat kewarasan Husni seolah menghilang ditelan bumi. Terlebih setelah sesi perpisahan sementara di stasiun akhir pekan lalu. Mau tahu satu hal? Husni tidak bisa tidur hampir sepanjang malam. Entah karena sedih memikirkan Eksa yang tersakiti, atau senang karena dia bisa berada satu langkah di depan Satria.
Selama beberapa hari ini pula, dia tidak begitu sering bertukar kabar dengan Eksa. Hanya beberapa kali, salah satunya saat wanita itu sampai. Dia mengabari Husni dengan mengirim chat sekitar waktu subuh. Bilang jika sudah sampai rumah dengan aman dan selamat. Hanya dengan begitu, Husni sudah merasa senang. Kendati tidak tahu akhirnya nanti akan seperti apa, setidaknya dia berusaha selalu ada untuk Eksa.
"Hus, mau bengong sampai kapan?"
Mendadak Husni terkejut oleh suara Satria. Ketika dia mendongak, ternyata laki-laki itu sudah berdiri di depan meja kerjanya dengan satu lembar kertas ada di tangan.
"Ngelamunin siapa, Eksa, ya?" tanya Satria datar sembari mengikuti arah pandang Husni pada meja kerja wanita itu.
"Enggak, Mas," elak Husni, kemudian dia berdehem. "Gimana, Mas? Ada yang bisa dibantu?"
Satria menggeleng pelan dengan senyum tipis tersemat di wajah. Sangat tipis hingga Husni tidak menyadarinya. "Mau nyerahin pengajuan anggaran buat pekan ini. Cairnya kira-kira bisa kapan?"
Husni menerima selembar kertas dari Satria, kemudian membaca rincian anggaran yang tertulis di sana. "Maksimal Jumat, Mas."
"Hari ini bisa?"
"Tergantung saldo rekening," kata Husni sembari meletakkan kertas di atas meja. "Diusahakan hari ini, tapi kalau nggak memungkinkan dioper ke Jumat. Supaya serentak sama anggaran yang diajukan divisi lain."
Satria mengangguk. "Oke kalau gitu."
"Ada lagi, Mas?" tanya Husni.
Laki-laki berlesung pipi itu tampak berpikir. Sebelum akhirnya menjentikkan jari ketika mengingat sesuatu. Dia lebih dulu menengok kanan kiri. Setelah memastikan tidak banyak orang, dia mencondongkan badan ke depan. Membuat Husni agak bergidik.
"Kita masih bersaing, Hus," kata Satria pelan. "Bukan bermaksud rebutan karena buat apa juga, ya, nggak?"
Husni mengernyitkan kening. Tidak mengerti arah pembicaraan Satria. Hingga laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya itu kembali berucap, Husni baru paham.
"Eksa. Kesempatan lebih lebar karena akhirnya begini."
Husni tersenyum tipis. "Mas Satria mau bilang?"
"Soal?"
"Perasaan."
Mengedikkan bahu, Satria menegakkan tubuhnya kembali. "Kalau memang kesempatan itu ada, kenapa enggak?"
"Jauh dari itu semua, Mbak Eksa lebih butuh dukungan, Mas. Dia masih terpukul."
"Aku tahu." Satria mengangguk. "Tapi nggak ada yang tahu ke depan bakal gimana. Entah akhirnya juga akan seperti apa, yang penting udah usaha, kan?"
Husni tidak menjawab, dia hanya menatap Satria datar.
"Oke, aku tunggu info selanjutnya buat anggaran yang udah aku ajuin," kata Satria lagi. "Kalau bisa, besok cair, ya. Soalnya urgent."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
RomanceCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...