42. Resign

37 3 0
                                    

"Na, kamu beneran resign?"

Hari mulai gelap ketika Bagas menghampiri Nares di kubikel yang berada tidak jauh dari meja kerjanya. Dia memusatkan atensi pada sosok berambut panjang yang masih sibuk dengan komputer menyala. Bagas pikir, Nares tidak benar-benar serius dengan ucapannya beberapa waktu lalu. Namun, mendengar langsung perihal yang sama dari Jordan membuatnya cukup terkejut.

"Kenapa emangnya?" tanya Nares tanpa menoleh.

"Masa resign, sih? Sepi dong, kantor. Nanti yang yang aku ajak cerita-cerita siapa kalau kamu nggak di sini lagi?"

Mungkin memang dulu Nares menjadi salah satu pemicu retaknya hubungan Bagas dengan mantan. Namun, wanita itu tidak salah apa-apa. Bagas mengakui jika dia yang salah. Justru Nares yang banyak menghiburnya tanpa orang-orang tahu.

"Terdengar lebay." Nares tersenyum tipis. "Masih banyak teman yang bisa kamu ajak cerita, Gas."

"Tapi mereka bukan kamu, Na."

Jemari Nares berhenti mengetik, kemudian dia berubah posisi jadi menghadap Bagas. "Aku cuma resign dari kantor, Gas. Bukan resign dari kehidupan."

Iya, sih. Namun tetap saja, tanpa wanita itu kantor akan berbeda. Setidaknya bagi Bagas.

"Kamu keterima kerja di tempat lain?"

Nares tertawa pelan. "Emang ada kantor yang menerima orang dengan keadaan kayak aku gini?"

"Na ...."

"Aku nggak daftar kerja di mana pun, Gas. Cuma di rumah sambil bantu bunda buat pesanan kue."

"Nggak sayang gitu, sama promosi jabatannya?"

Kening Nares berkerut. "Kamu tahu dari mana soal itu? Pak Jordan?"

"Beliau bilang sama aku kemarin pas makan siang." Bagas menarik kursi yang ada di kubikel samping. Mendudukkan tubuhnya di sana sembari menyilangkan kaki. "Katanya sedih karena kamu resign."

"Masa sedih? Enggak ah, Pak Jordan aja yang melebih-lebihkan." Nares mengibaskan sebelah tangannya.

"Tapi seriusan ini, Na. Beneran bulan besok udah nggak di sini?"

"Kamu mau jawaban yang kayak apa, Gas? Emang yang tadi, sama ucapan Pak Jordan belum jelas?"

Bagas menghela napas, sembari menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia juga tidak tahu, seolah ucapan Nares tidak juga membuatnya lega. Ada kekhawatiran tersendiri saat mengetahui segala hal yang wanita itu alami. Terlepas dari salah atau tidak, Bagas tahu jika Nares juga terluka. Sekuat apa pun, dia tetap seorang wanita.

"Kamu udah makan?" Tidak menjawab ucapan Nares, Bagas memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Bukan hal yang bagus jika nanti berujung perdebatan keduanya. "Kalau belum, abis magrib ke ramesan Bu Sri, yuk!"

"Sebelumnya maaf, Gas, tapi aku udah ada janji."

Netra Bagas memicing. "Sama Deka?"

"Kenapa kalau sama dia?"

"Ya, nggak apa-apa, sih." Bagas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tapi ngomong-ngomong, Na, kalian bakal ... anu ...." Laki-laki itu kebingungan mencari kata-kata yang pas. Takut jika salah ucap justru menyakiti Nares.

"Apa? Nikah?" tanya Nares telak. "Aku nggak munafik, Gas. Dengan keadaan seperti ini, aku juga ingin dapat keadilan berupa tanggung jawab. Tapi, aku cukup tahu diri."

Nares kembali mengalihkan pandang pada komputer. Menyimpan beberapa dokumen, kemudian mematikan benda ukuran delapan belas inci tersebut. Dia rapikan berkas-berkas yang masih berserakan di atas meja, lantas menumpuknya di dekat komputer.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang