21. Hari H

77 16 33
                                    

Akhir pekan biasanya menjadi hari yang paling Husni tunggu. Dia bisa bebas bergelung di kasur selama yang dia mau. Setengah hari, sehari penuh, atau justru memilih pulang untuk bertemu bapak dan ibu. Namun, tampaknya tidak dengan akhir pekan kali ini. Wajahnya terlihat muram, membuat mata sipitnya terkesan menyeramkan. Hal itu tentu saja sangat mengganggu Wildan yang notabene tuan rumah. Iya, jadi Husni memutuskan untuk mengunjungi sahabatnya itu sejak semalam. Pulang kerja tidak langsung pulang ke indekos, melainkan melipir menuju kontrakan yang dihuni Wildan, Jeje, dan dua orang lainnya.

"Hus, muleh kono!¹"

Husni hanya melirik sekilas pada Wildan yang sibuk dengan mie instan di depan kompor. Sedangkan laki-laki bermata sipit itu merebahkan kepala di meja makan. Pipinya dia biarkan bersentuhan dengan meja yang terasa dingin.

"Raimu sepet. Ganggu wae!²"

Tidak ada tanggapan dari Husni. Dia masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Terarah pada punggung Wildan yang dibalut kaus berwarna hitam.

Angan Husni melayang pada sosok yang kemarin sore pamit pulang ke Bandung. Wajahnya terlihat semringah, begitu antusias dengan perjalanan yang hendak dia tempuh pada Sabtu ini. Husni hanya memberikan senyum sebagai tanggapan, serta berpesan supaya hati-hati selama perjalanan. Meskipun dalam hati berbanding terbalik. Ada sesak yang bertahan di sana, enggan pergi meski Husni berusaha untuk menerima.

"Mau nggak?"

Lamunan Husni buyar, digantikan sosok Wildan yang kini duduk di kursi dekatnya. Laki-laki tinggi itu membawa semangkuk mie instan kuah dengan banyak toping. Terlihat begitu menggoda.

"Apa?"

"Mie," jawab Wildan, lalu mulai menyantap makanan yang masih mengepulkan asap itu. "Tapi bikin sendiri."

Husni menegakkan tubuhnya, tidak lagi merebahkan kepala di meja. "Pelit!"

"Mana ada pelit?" Sejenak Wildan meniup-niup gulungan mie di garpu, sebelum akhirnya menyuapkan ke mulut. "Kamu bisa bikin sendiri. Lagian, nih, ya, aku buru-buru. Mau pergi abis ini."

Kening Husni berkerut. "Ke?"

"Kepo!"

Dengkusan kasar terdengar mengudara, membuat Wildan mengalihkan atensi dari semangkuk mie yang menggoda. Dia menatap Husni yang mukanya terlihat muram, berbeda dengan kemarin-kemarin. Wildan mengedikan bahu, kemudian lanjut menyantap makanan paling nikmat itu hingga tandas. Baru setelahnya dia alihkan atensi penuh pada sahabatnya yang sedang dalam suasana hati tidak enak.

"Kamu kenapa? Kayaknya dari sore kemarin ke sini, enggak ada enaknya sama sekali itu muka. Sepet mulu dipandang." Wildan kembali membuka suara.

"Nggak tahu. Kepala rasanya penuh."

"Cerita aja," kata Wildan. Laki-laki itu berdiri, membawa mangkuk yang sudah kosong ke wastafel dapur. Mencucinya bersih, lantas kembali ke meja makan. Sebelumnya dia mengambil satu botol air mineral terlebih dahulu di kulkas. "Nggak ada yang nyalahin kalau cowok itu curhat. Emang cewek doang yang kayak gitu? Nggak, kan?"

Husni urung menjawab. Pikirannya benar-benar penuh sekarang. Bukan hanya soal Eksa, tetapi juga terkait pekerjaan. Akan ada audit untuk beberapa waktu mendatang. Tepatnya kapan, Husni juga belum tahu. Namun, berkas-berkas yang perlu dia siapkan sudah menumpuk. Ditambah dengan laporan pajak tahunan yang harus selesai akhir bulan depan. Sebenarnya bukan Husni yang bertanggung jawab penuh dengan laporan tersebut, tetapi data yang dibutuhkan dari bagian keuangan lumayan banyak. Jadi, mau tidak mau dia turut andil dalam hal ini.

"Aku ... nggak tahu." Husni memejamkan mata. Dia hela napas sepanjang yang dia bisa, sebelum akhirnya mengembuskan secara perlahan. Ketika kelopak matanya kembali terbuka, dia disambut Wildan yang masih menatapnya. Membuat Husni berpikir untuk menceritakan kegelisahan yang sedang dia rasa.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang