35. Sampai di Sini

103 16 30
                                    

Jika ada yang mengira Husni tidak tahu kejadian di rooftop, itu salah besar. Dia melihat jelas dua orang yang duduk berdekatan. Membicarakan entah apa, yang berakhir dengan sebuah pelukan. Mungkin memang sepihak, tetapi tetap saja namanya pelukan.

Nasi kotak dan jus sirsak yang Husni bawa harus dia relakan tidak sampai pada pemiliknya. Berakhir dengan kembali dibawa menuju ruang kerja tanpa ada yang menyentuh. Lagi-lagi Husni merasa harapannya tak terpenuhi. Seolah banyak dinding tak kasat mata yang menghalangi.

Langkahnya baru mencapai ujung tangga ketika ponselnya bergetar. Berhenti sejenak, Husni memilih untuk mengambil benda pipih yang ada di kantong celana. Nama Mika tertera jelas di layar, membuat Husni mengernyit heran. Tidak biasanya laki-laki itu menelepon pada jam-jam seperti ini.

"Halo!" Setelah menekan ikon hijau, Husni menempelkan ponsel pada telinga. Dia memilih duduk di salah satu anak tangga yang mengarah ke rooftop.

"Oy, Bro, what's up?"

"Wasap-wasap gundulmu?"

Terdengar dengkusan samar di seberang. "Dih, bukannya disapa dengan baik malah dikatain."

Husni menghela napas panjang sembari menoleh kanan kiri. Tidak ada orang di sekitar. "Tumben telpon?"

"Lo nggak kangen gitu sama gue?"

"Kamu jadi kayak cewek, Mik," komentar Husni. Dia meletakkan satu kantong plastik berisi nasi kotak dan jus sirsak di sebelahnya. "Jarang kontak jam segini, palingan malem."

Mika tertawa pelan. "Sebagai sahabat yang baik dan budiman, ini adalah bentuk perhatian gue ke lo, Ni."

Husni tidak bisa menahan untuk tidak merotasikan bola mata. "Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa, sih."

"Ya udah, matiin kalau gitu. Aku mau balik ke ruang kerja."

"Dih, songong!" cibir Mika. "Lo sok sibuk banget belakangan."

Memang Husni sibuk. Sibuk soal pekerjaan dan sibuk menata hati. Ah, sial! Poin kedua terdengar begitu mengenaskan. Namun, nyatanya hatinya tak sedang baik-baik saja. Terlebih setelah kembali dari rooftop barusan.

"Emang sibuk," kata Husni. "Lagi ada audit, jadi riweh ngumpulin data dan lain hal."

"Oh," sahut Mika pendek. Ada jeda sejenak setelah laki-laki di seberang itu menanggapi. Sebelum akhirnya dia kembali bersuara setelah beberapa saat. "Lo oke, kan?"

Kontan alis Husni terangkat begitu mendengar ucapan Mika. "Maksudnya?"

"Lo. Baik-baik aja, kan?" Mika mengulang ucapannya. "Gue tahu apa yang sedang terjadi, Ni."

Husni diam. Dia hanya mengerjap tanpa berniat membalas ucapan sahabatnya itu. Dia tahu, cepat atau lambat Mika juga akan mengetahuinya. Entah dari Wildan atau dari Bemi yang notabene sahabat Eksa.

"Meskipun ini bisa dikatakan musibah, tapi ini juga berkah buat lo, tauk."

Sontak kelopak mata Husni melebar. Bagaimana bisa Mika bilang jika ini berkah? Hal buruk baru saja menimpa Eksa. Jika begitu, apakah pantas dia menyebut ini sebagai berkah? Gila! Husni tahu diri. Dia memang menyukai dan berharap pada sosok itu. Namun, bukan seperti ini caranya.

"Edan po, kamu?" Husni kesal. Sebelah tangannya dia gunakan untuk menyugar rambut ke belakang. "Mana ada berkah sedangkan yang terjadi sebaliknya?"

Terdengar decakan di seberang. "Gue tahu, ya, lo itu kadang sinting. Atau malah sinting all the time? Mikir yang pinter dong, Ni. Cewek yang lagi galau itu gampang buat dimasukin hatinya."

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang