34. Be Alright

97 17 20
                                    

Rooftop kantor bukanlah tempat yang sering Eksa kunjungi. Selama bekerja di sini, dia hanya beberapa kali menyambangi tempat tersebut. Namun, hari ini dia ke sana untuk menikmati udara siang di kota Jogja. Membiarkan semilir angin meniup rambutnya yang dibiarkan tergerai. Tidak buruk juga meskipun tidak sedingin air conditioner di ruang kerja.

Setengah hari ini berlalu dengan baik, meskipun sebelumnya terasa berat. Eksa bersyukur, setelah semua hal yang terjadi, dia masih bisa berada di sini. Menjalani hari kendati semua telah berubah.

Sejak Eksa masih berada di rumah sakit, banyak sekali panggilan telepon maupun pesan yang masuk dari Deka. Namun, tidak ada satu pun yang terbalas. Eksa takut, dia akan kembali berurai air mata jika mendengar suaranya. Bohong jika Eksa langsung membuang jauh-jauh semua hal tentang laki-laki itu. Semua masih tersimpan rapi, bahkan segala janji yang pernah terucap masih terngiang di kepala.

"Ya Allah, maafin aku." Eksa bermonolog sembari menatap gumpalan awan. Sejak semalam, dia berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lagi mulai esok hari. Namun, gagal. Nyatanya lapisan kaca tipis sudah lebih dulu menghias netra. "Aku nggak belajar dari kesalahan yang sama."

Andai dia memercayai ucapan Bemi waktu itu, semua tidak akan jadi serumit ini. Namun, kendati dia mengucapkannya hingga lelah, kata andai tidak akan membuat keadaan lebih baik. Semua sudah berlalu, menorehkan luka yang entah kapan akan sembuh.

"Kadang, kita harus disentil beberapa kali dulu baru menyadari kalau sebuah keputusan itu kurang baik."

Eksa mengerjap, kemudian menoleh ketika mendengar suara Satria. Laki-laki itu tengah berdiri di belakangnya dengan membawa satu kantong plastik berisi air mineral dan beberapa camilan. Dia berjalan mendekati Eksa, lantas duduk di samping wanita itu.

"Kamu kenapa ke sini?"

Satria menoleh dengan kedua sudut bibir tertarik. Ada lesung pipi samar ketika laki-laki itu tersenyum tipis seperti sekarang. "Nggak boleh?"

"Bukan gitu."

Tidak menjawab, Satria memberikan satu botol air mineral pada Eksa. Disusul sebungkus camilan ukuran sedang.

"Gimana hari ini, udah oke?"

Eksa lebih dulu menerima pemberian Satria sembari mengucapkan terima kasih. Sensasi dingin langsung menyebar pada telapak tangannya ketika satu botol air mineral berada di genggaman.

"Nggak bisa dikatakan sepenuhnya oke, tapi lebih baik." Senyum tipis tersemat di wajah manis itu. "Makasih udah kasih dukungan, Sat. Maaf juga aku merepotkan sampai harus nginep di rumah sakit dua hari."

Satria menggeleng. "Aku nggak merasa direpotkan, Sa. Kapan pun kamu butuh bantuan, aku di sini."

Kabut tipis yang menyelimuti netra kini semakin berdesakan, membuat pandangan Eksa kabur. Padahal dia baru saja bilang jika ingin berhenti menangis. Namun, buliran bening itu lebih dulu melesak turun.

"Hey, are you okay?" tanya Satria yang menoleh pada Eksa.

"Masih sesek." Jemari kurusnya mengusap buliran bening yang mulai berjatuhan di pipi. "Padahal aku tadi bilang kalau better, ya."

"Aku tahu ini berat, Sa." Satria mengalihkan pandang ke depan. Menatap pada gumpalan putih yang menghias langit. "Tapi kamu harus percaya kalau banyak orang yang sayang dan ada buat kamu."

Salah satunya aku, Sa. Aku di sini untuk kamu, dalam hati Satria melanjutkan. Ingin mengucap secara langsung, tetapi tertahan di tenggorokan.

"Kamu pernah bilang, kalau aku harus memilih antara dua hal. Lanjut atau udahan."

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang