05. Diamnya

142 31 43
                                    

Ketika sampai di kantor sebelum jam setengah delapan, Satria dikejutkan dengan Eksa yang sudah duduk di depan komputer. Padahal Eksa jarang datang sepagi ini. Biasanya, wanita itu datang ketika briefing hampir dimulai. Namun, ketika mendapatinya datang seawal ini, Satria jadi curiga. Apalagi Eksa terlihat diam dan muram.

"Tumben udah di sini?" Satria mendekati Eksa tanpa meletakkan ranselnya terlebih dulu. Dia tarik kursi yang ada di dekat meja wanita itu, lalu duduk di sana.

"Gabut di kosan," jawab Eksa datar.

Satria mengernyit. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Gelagat Eksa terlihat tidak seperti biasanya. "Ada masalah?" tanya Satria basa-basi.

Eksa terlihat kaget. Namun, segera wanita itu tutupi dengan sibuk menata berkas yang ada di meja. "Nggak."

"Pinter banget bohongnya." Satria geleng-geleng. "Mau kamu bilang enggak berkali-kali juga kelihatan."

Eksa mendengkus. "Ya, kalau gitu kenapa pake nanya?"

"Judes amat mbaknya. Kalem, aja."

Tak ada tanggapan dari Eksa. Wanita itu hanya menghela napas panjang, lantas melanjutkan aktivitasnya menata berkas.

"Cerita aja misal emang butuh buat diluapkan. Jangan dipendam sendiri, nanti kamu sakit."

Eksa hanya melirik sekilas, masih terlihat enggan untuk menjawab. Namun, Satria terus mendesak dengan halus.

"Nggak baik nyimpan masalah kayak gitu. Jadi toxic, ntar."

Eksa menyerah. Satria memang sepeka itu sejak dulu. Daripada membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa semua baik-baik saja, mungkin memang lebih baik Eksa cerita. Pada laki-laki yang sejak dulu selalu mendengarkan segala keluh kesahnya.

Wanita itu membawa tubuhnya untuk bersandar pada kursi yang dia duduki. Berharap dengan begitu akan membuatnya lebih relaks. Sebelah tangannya terulur untuk menyibak poni ke belakang.

"Deka lagi?"

Satria hanya menebak dan tidak begitu kaget ketika Eksa mengangguk mengiyakan. "Kenapa sekarang?"

"Aku nggak ngerti." Eksa memejamkan matanya, merasa lelah dengan sikap Deka yang sepertinya tak juga berubah. Oke, dia bisa mengerti jika laki-laki itu satu kantor dengan Nares. Namun, rasanya terlalu dekat jika hampir setiap waktu mereka bersama. Mulai dari makan siang, hangout, bahkan pergi ke kantor pajak berdua. "Deka banyak berubah."

"Berubah gimana?"

"Dia beda, Sat. Nggak kayak dulu lagi."

Satria menghela napas, mencoba untuk tidak tersulut emosi. "Udah ditanyakan ke mereka? Atau seenggaknya ke Deka?"

Eksa menggeleng pelan. Kedua netranya mulai terasa buram, terselimuti kabut tipis. "Aku belum hubungi Deka."

"Kalau gitu, hubungi dulu. Tanya baik-baik."

Dia merasa sesak ketika harus menyaksikan wanita itu sedih. Dan itu disebabkan oleh masalah yang sama untuk kesekian kalinya. Satria harap semoga semua lekas membaik. Karena jika Deka hanya mempermainkan sahabatnya, Satria tak akan tinggal diam.

🥀🥀🥀

"Mbak Eksa nggak makan?"

Husni sedikit membungkukkan tubuhnya di depan meja kerja Eksa ketika melihat wanita itu bergeming. Hanya menelungkupkan kepala di atas lipatan tangannya di meja sejak beberapa menit yang lalu.

Ruang keuangan tampak sepi, hampir semua penghuninya keluar untuk menunaikan salat maupun mengisi perut. Kecuali Eksa yang memang terlihat aneh sejak Husni datang tadi pagi. Seperti sedang banyak masalah. Ah, Husni ingat. Mungkin ini ada sangkut pautnya dengan kejadian kemarin di kantor pajak.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang