19. Awal Cerita Baru

76 17 28
                                    

"Mi, gue kangen!"

Kamar berukuran tiga kali empat itu tampak sedikit berantakan. Tas selempang tergeletak begitu saja di lantai, pun dengan bantal dan boneka yang sudah tidak pada tempatnya. Ada dua buah buku yang ikut andil membuat tampilan kamar tidak rapi. Tergeletak pasrah di dekat tas selempang yang tutupnya terbuka.

Sementara si empunya ruangan bernuansa gading itu tengah berbaring di kasur dengan sebelah tangan memegang ponsel. Menempelkannya pada telinga sembari cengar-cengir. Wajah ayunya tampak semringah, dengan semburat merah yang muncul di kedua pipi. Sebelah tangannya yang bebas memilin bulu-bulu halus boneka kucing miliknya. Membuat bulu tersebut terlihat kusut. Jika kucing berwarna cokelat gelap itu hidup, pasti si wanita akan langsung dicakar karena memainkannya.

"Apaan? Lebay lo! Baru juga sebulan lebih dikit nggak ketemu!"

Bibir yang semula tertarik, kini mengerucut. Berubah dalam sekian detik setelah mendengar tanggapan di seberang yang terkesan ngegas.

"Santai, dong!" Eksa, wanita pemilik kamar bernuansa gading yang tengah menelepon sahabatnya itu menjawab. Tubuhnya sedikit berguling ke kanan untuk beralih posisi dari terlentang menjadi menyamping. "Lama nggak telpon atau video call, giliran telpon jadi ngegas."

"Iya-iya, maaf, deh. Gue lagi kesel soalnya."

"Kesel kenapa?"

"Biasa."

Kening Eksa berkerut, bingung dengan jawaban sosok di seberang. Namun, beberapa sekon kemudian senyum kembali terbit di wajah manisnya. "Ah, gue tahu! Pasti soal Mika, kan?"

"Ih jangan sebut namanya!" seru wanita bernama Bemi itu. "Gedeg gue! Gue matiin, nih, kalau ujungnya bahas dia!"

Eksa tergelak. Ternyata sahabatnya masih sama seperti sebelum meninggalkan Jogja. Selalu sensi jika membahas laki-laki jangkung bernama Mika. "Oke, gue nggak nanya lagi," kata Eksa dengan sisa-sisa tawanya. "Lagian, gue telpon juga mau cerita soal hal lain."

"Apa?" tanya Bemi ketus.

Perlahan lengkungan kurva itu kembali menghias wajah Eksa. Ingatan akan kejadian beberapa jam lalu langsung berputar dalam kepala. Tangan kirinya terangkat, ada sebuah cincin berwarna silver yang tersemat di jari manisnya. Cincin yang sore tadi dipasangkan oleh sosok laki-laki yang mendadak semakin memenuhi kepala.

"Eksa Gantari, bersediakah kamu menjadi pendamping hidupku?"

Suara itu kian menggema, seolah terjebak di sana tanpa mau pergi. Memaksa Eksa untuk terus mendengarnya. Rasa bahagia kini memenuhi dada. Layaknya ada sebuah pertunjukan, membuat jantung si empunya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Sa? Tidur?"

Gema suara Deka perlahan memudar, digantikan milik Bemi yang terdengar sedikit keras. Masih dengan senyum di kedua sudut bibir, Eksa menjawab, "Eh, gimana?"

"Ck." Bemi berdecak. "Jadi cerita kagak, sih? Nungguin, nih!"

"Ah, iya! Sampai lupa."

"Buru sebelum adek gue ngerecokin."

"Oh, Cika di rumah?"

"Sa!"

Eksa malah cengar-cengir mendengar suara Bemi yang berseru keras. Dia jadi semakin rindu dan ingin bertemu. Bercerita secara langsung jauh lebih asyik.

"Iya-iya. Tapi, bentar. Gue mulai dari mana, ya?" Eksa mengubah posisi dari menyamping jadi terlentang. Dia menarik guling yang berada tak jauh darinya, lantas meletakkannya di bawah kepala.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang