"Na, kamu sakit? Pucat banget."
Nares masih sering berandai, kendati kenyataan tidak sejalan dengan apa yang dia inginkan. Diperhatikan oleh seseorang yang masih diharapkan, siapa yang tidak senang? Bukannya menjauh karena semua hal yang tidak semestinya, Nares justru ingin lebih. Apalagi setelah mengetahui pengakuan Deka ketika liburan.
Ini semua tidak benar, Nares tahu itu. Namun, perasaan yang tumbuh tidak bisa dikontrol. Tiga minggu lagi dan Deka menikah. Menjadi milik orang lain yang tidak akan pernah dia gapai sampai kapan pun. Jadi, bukankah dia hanya memupuk luka hingga saat itu tiba?
"Na, izin aja buat balik."
Bahkan, ketika Nares meminta untuk tidak peduli, laki-laki itu justru tidak mengindahkan. Tetap berlaku sama seperti sebelumnya dengan alasan mereka adalah teman.
"Kerjaan aku masih banyak, Dek."
Padahal sebenarnya Nares sangat pusing. Akhir-akhir ini dia merasa badannya tidak karuan. Kadang sangat lelah, kadang malas untuk mengerjakan hal yang biasa dia kerjakan, dan banyak lagi yang membuatnya merasa aneh. Seperti bukan dirinya sendiri.
"Kalau nurutin kerjaan emang nggak bakal beres, Na. Mending kamu balik, istirahat, biar besok enakan lagi."
"Kalau nggak aku kerjain, nggak ada yang back up!" seru Nares.
Sesaat setelah mengucapkan itu, Nares terdiam. Netranya terarah pada Deka yang juga diam sembari menatapnya. Selama saling mengenal, Nares tidak pernah berbicara dengan nada tinggi lada laki-laki itu. Namun, entah dorongan dari mana, hari ini Nares melakukannya untuk pertama kali. Berseru seolah Deka melakukan suatu kesalahan yang tidak bisa ditoleransi.
"Na ...."
"Nggak usah peduli!" Bukan ini yang ingin Nares katakan. Dia sama sekali tidak bermaksud, tetapi secara alami tubuhnya merespons demikian.
Mengabaikan rasa pusing yang tidak juga mau hengkang, Nares kembali fokus pada layar komputer yang masih menyala. Pekerjaan yang harus dia selesaikan masih lumayan banyak. Belum lagi laporan bulanan dan rapat mingguan yang diadakan besok. Kepala Nares rasanya penuh dengan berbagai hal, ditambah masalah hati yang tidak juga selesai.
Jika tidur bisa menghilangkan semua beban dan membuatnya lupa, Nares sangat ingin melakukannya. Namun, semua tidak semudah itu. Bahkan di dalam mimpi saja dia bertemu dengan orang yang sangat ingin dia lupakan.
"Na, makan dulu, terus minum vitamin ini."
Nares tidak tahu sejak kapan Deka keluar. Namun, laki-laki itu datang dan menyerahkan satu botol air mineral lengkap dengan sebungkus roti dan vitamin. Wanita itu kemudian menghentikan jemarinya yang sedari tadi mengetik. Dia menatap roti cokelat yang ada di meja, kemudian beralih menatap Deka.
"Dek ...."
"Jangan sakit, nggak enak kalau sakit. Jadi, makan, ya? Udah berhari-hari aku nggak lihat kamu lahap makan. Padahal biasanya suka ikut kalau aku sama Bagas ke foodcourt."
Nares ingin menolak, tetapi telapak tangan laki-laki itu lebih dulu mengusap puncak kepalanya. Membuat semua amarah yang hampir keluar, teredam seketika. Justru kedua sudut netra Nares mulai tergenang oleh cairan bening.
"Semangat, ya," kata Deka, kemudian berlalu pergi menuju meja kerja yang berada tidak jauh dari meja Nares.
Lihat, kan? Perlakuan manis laki-laki itu selalu sukses membuat Nares lemah. Dia tahu ini salah, tetapi hatinya tidak bisa mengendalikan. Tentang perasaan yang justru semakin tumbuh, pun dengan harapan yang diam-diam masih dia sematkan.
Maafin aku, Sa.
🥀🥀🥀
"Kalau aku pulang agak mepet, nggak apa-apa, kan, Bun? Soalnya harus beresin beberapa pekerjaan yang mendesak. Acara juga nggak ngundang banyak orang. Jadi, aku pikir nggak harus aku pulang dua minggu sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ending Scene ✓
RomansaCOMPLETED Semuanya berawal ketika Eksa melihat Deka pelukan dengan Nares di Jogja Expo Center. Padahal pamitnya pergi gladi resik acara reuni, bukan bermesraan dengan wanita lain. Sejak saat itu, rasa percaya Eksa pada Deka semakin berkurang. Ditamb...