44. Another Confession

126 16 11
                                    

"Lo beneran mau nikah?"

Ini hampir tengah malam, tetapi Eksa masih terjaga dengan ponsel yang menempel di telinga. Sejak sekitar tiga puluh menit lalu, dia sibuk berbincang banyak hal dengan Bemi, sahabat yang amat dirindukannya.

"Kampret! Lo dapet gosip dari mana?" seru Bemi di seberang.

"Dari Husni."

"Sial emang, ya! Mika mulutnya bocor kayak keran air dinyalain non stop."

Kening Eksa berkerut. "Jadi bener?"

Tidak ada jawaban yang terdengar, melainkan helaan napas Bemi. Jika reaksi sang sahabat demikian, berarti kemungkinan besar yang Husni ceritakan kemarin benar adanya. Bahwa Bemi dan Mika akan segera melangkah ke pelaminan.

"Sebenarnya enggak dalam waktu dekat juga, sih." Setelah diam beberapa saat, akhirnya Bemi bersuara. Menjawab pertanyaan yang berjubel di kepala Eksa. "Cuma emang, ya ... gitu."

"Gitu gimana?" tanya Eksa tidak sabar. Dia gemas dengan Bemi yang masih saja seperti itu. Suka, tetapi terlihat seperti tidak menerima. "Yang jelas kalau ngomong!"

"Kok, lo ngegas?"

"Lo aja ngeselin begitu."

"Iya-iya bawel amat!" Terdengar helaan napas panjang di seberang. "Mika confess ke gue. Dan saat itu juga dia mengungkapkan niatnya buat serius."

Eksa tidak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk tidak tertarik. Mendengar cerita Bemi rasanya seperti melakukan perjalanan yang jauh dengan medan terjal dan berakhir menemukan pemandangan indah. Lelah dan penat yang terasa mampu terbayarkan.

"Lo jawab apa?"

Bemi kembali diam, membuat Eksa mendengkus karena tidak sabar mendengar jawaban sahabatnya itu. "Mi?"

"I said ... yes."

Kelopak mata Eksa melebar. Bersamaan dengan teriakan yang keluar dari bibirnya. Namun, beberapa detik setelahnya dia sadar. Ini tengah malam dan teriakannya akan mengejutkan tetangga kamar.

"Kampret, kuping gue pengang!" sembur Bemi. "Ini malam dan lo nggak di hutan kayak Tarzan!"

"Sorry!"

Buru-buru Eksa menutup mulutnya guna meredam teriakan refleks yang mungkin saja kembali terdengar. Sebagai ganti, dia melampiaskannya dengan memukul-mukul kasur. Mengekspresikan segala keterkejutan dan rasa senang. Terkejut karena secepat itu, senang karena orangnya adalah Mika.

"Sa? Lo tidur?"

Eksa menggeleng, meskipun Bemi tidak bisa melihatnya mereka berbincang lewat telepon. "Sumpah, Mi, lo serius?"

"Lo gimana, sih? Katanya Husni bilang gitu. Kenapa kaget banget?"

"Husni nggak bilang segamblang itu." Eksa membela diri. Memang Husni kemarin tidak menjelaskan secara detail.

"Lo sendiri gimana?" tanya Bemi. "Maaf gue kemarin-kemarin nggak sempat nengok lo ke Jogja. Lo ... oke, kan?"

Awalnya Eksa tersenyum. Namun, perlahan senyum itu pudar. Agaknya pembicaraan terkait hal itu tidak akan bisa dihindari. Dia juga tidak bisa mencegah Bemi untuk menanyakannya. Karena sudah berlalu selama beberapa saat, Eksa pikir wajar jika hal tersebut ditanyakan lagi. Kondisinya sudah jauh lebih baik.

"Oke, kok." Eksa menjawab setelah beberapa saat diam. Benar, dia baik-baik saja. Ada banyak dukungan yang diterima selama beberapa waktu belakangan. Terutama dari keluarga dan dua rekan kerjanya.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang