07. Lelah

156 29 61
                                    

Eksa sering bertanya-tanya akan satu hal, yaitu tentang perjalanan hidup yang dilewatinya. Perpisahan kedua orang tuanya, kakak yang pergi dan tak pernah ada kabar, juga kisah cintanya yang tak sejalan dengan harapan.

Beberapa tahun silam, dia mengenal sosok tinggi berhidung bangir itu di bangku kuliah. Lewat pertemuan yang tak terduga di gedung rektorat universitas. Hanya sebuah pertemuan biasa, tak ada istimewanya sama sekali. Namun, siapa sangka? Pertemuan itu justru menuntunnya pada pertemuan-pertemuan lain yang berujung dengan terjalinnya kedekatan.

Sosok itu bernama Deka, lengkapnya Anargya Deka Nugroho. Seorang perantau asli kota hujan yang kini menetap di kota pelajar. Deka itu supel, mudah sekali bergaul dengan banyak orang. Berbeda dengan Eksa yang kebalikannya. Laki-laki itu seolah memiliki energi berlebih setiap waktu. Hal apa pun yang dibincangkan, jika itu bersama Deka, rasanya jadi berbeda.

Berawal dari pertemuan tak sengaja, berlanjut menjadi sebuah pertemanan. Eksa seperti menemukan sosok kakak yang dia rindukan selama ini. Yang tak pernah lagi ditemuinya selama bertahun-tahun. Bagi Eksa, Deka adalah salah satu orang paling berharga selain keluarga, juga sahabatnya.

"Sa, gue nggak bisa janjiin apa-apa."

Masih teringat jelas ucapan laki-laki itu beberapa tahun silam ketika mereka tengah makan siang di selasar kampus yang sedang sepi. Menikmati dua porsi nasi kotak dan dua cup es teh.

"Maksudnya?"

Deka tersenyum, sebelah tangannya terulur untuk membersihkan sebutir nasi yang berada di sudut bibir Eksa. "Ya, soal kita. Lo sama gue."

"Gue nggak ngerti." Eksa menahan pergelangan tangan Deka, membuat laki-laki itu urung menarik tangannya. "Apa lo baru aja bicara soal sebuah hubungan?"

"Menurut lo? Lo mengartikan ucapan gue gimana?"

"Entah." Eksa mengedikkan bahu. "Lo udah punya cewek, mungkin?"

"Mana ada?"

"Ya, siapa tahu, kan?"

Kedua sudut bibir Deka tertarik sempurna. Sebelah tangannya lalu beralih ke puncak kepala wanita itu. Mengacaknya gemas, sebelum kembali berucap, "Enggak. Gue jomlo."

"Oh, jones."

"Tapi otw taken, kok."

Eksa tak bisa menahan kerutan di keningnya. "Kok, bisa?"

"Bisalah. Oknum di depan gue gemesin soalnya."

Kerutan di kening Eksa semakin jelas, tanda jika dia tak paham akan ucapan Deka. Namun, alih-alih mengulangi apa yang dikatakannya, laki-laki itu malah tertawa kecil. Membuat kedua matanya turut melengkung seperti bulan sabit.

"Sa, boleh gue minta satu hal?" tanya Deka setelah tawanya mereda.

"Apa?"

"Gue pengin, kita bareng-bareng terus sampai nanti."

"Wisuda bareng, kerja bareng, gitu? Kita beda fakultas, dodol!"

Deka tergelak. "Ya, nggak gitu. Bukan masalah kerjaan ataupun semacamnya, tapi soal kita. Gue sama lo."

"Alah belibet amat ngomong." Eksa mengibaskan sebelah tangannya. "To the point aja, Dek."

"Gue nyaman sama lo," kata Deka kemudian. Sebelah tangannya terulur untuk meraih jemari Eksa. "Gue nggak menyangka bakal ketemu lo, lalu kenal sampai sejauh ini."

Ada hal aneh yang Eksa rasa. Debaran jantung yang awalnya biasa, kini mendadak terasa lebih cepat. Mengalirkan darah ke bagian wajah, hingga membuat semu manis tercipta.

Ending Scene ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang